Kata Kunci: Puasa dalam Kitab Riya<d{ al-badi< ah, Kesehatan Mental Banyak cara yang ditawarkan oleh agama untuk menyucikan jiwa, di antaranya melalui puasa. Puasa, di samping sebagai tindak ibadah, juga sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan, sebab puasa merupakan bentuk pengabdian dan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, maka akan merasakan ketenangan batin. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Bagaimana menurut al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< (Riya<d} al-badi< ah) tentang materi puasa?, (2) Bagaimana relevansi materi puasa dalam kitab Sharh} Riya<d} al-badi< ah perspektif al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dengan kesehatan mental?. penelitian ini dirancang dengan rancangan deskriptif Library Research dari telaah beberapa buku-buku terkait sehingga menghasilkan karya ini. Penelitian yang penulis lakukan ini adalah penelitian kepustakaan (Library Research). Dalam perjalanan mengumpulkan data, penulis melakukan identifikasi wacana dari buku-buku, makalah atau artikel, majalah, jurnal, web (internet), ataupun informasi lainnya yang berhubungan dengan judul penelitian penulis. Sedangkan metode analisisnya, penulis menggunakan metode analisis isi (content analisys) dan metode analisis deskriptif. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa (1) Puasa menurut al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dalam kitab Riya<d} al-badi< ah berarti meninggalkan dan menahan diri dari hal-hal yang boleh, meliputi keinginan perut dan keinginan syahwat, dengan niat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, dalam kitab Riya<d{ al-badi< ah ini juga membahas tentang syarat puasa, dan juga hal-hal yang membatlkan puasa dan juga orang yang meninggalkan puasa baik itu sengaja atau tidak, sehingga puasa yang ditinggalkan tersebut wajib untuk mengqadanya di lain hari. (2) Puasa dengan kesehatan mental itu terdapat relevansi yaitu sama-sama untuk mengendalikan diri baik jasmani maupun ruhani. Jadi, orang yang sehat jiwa atau mentalnya adalah orang yang dapat menguasai dan mengendalikan diri terhadap dorongan yang datang dari dalam maupun luar dirinya.
3 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ibadah adalah sebutan yang mencakup segala sesuatu yang disukai dan dirid{ai oleh Allah SWT, dalam bentuk ucapan dan perbuatan batin dan lahir seperti salat, zakat, haji, puasa, penunaian amanah dan lain-lain. 1 Bagi kaum muslimin, ibadah puasa, baik puasa wajib maupun puasa sunah, bukanlah sesuatu yang asing. Umat Islam telah terbiasa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramad{an dan merupakan ibadah mah{d{ah yang wajib dilaksanakan. Umat Islam diwajibkan berpuasa di bulan Ramad{an sebulan penuh ketika sudah berusia akil baligh. Seorang dipandang sudah akil baligh apabila laki-laki sudah mimpi basah (mengeluarkan sperma) dan perempuan sudah mengalami menstruasi atau haid. 2 Banyak cara yang ditawarkan oleh agama untuk menyucikan jiwa, di antaranya melalui puasa. Puasa, di samping sebagai tindak ibadah, juga sebagai obat mujarab untuk menyembuhkan gangguan kejiwaan, sebab puasa merupakan bentuk pengabdian dan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dengan mendekatkan diri kepada Allah, maka akan merasakan ketenangan batin. Seperti hal ibadah-ibadah lainnya, hikmah ibadah puasa tidak terhitung banyaknya yang kebanyakan tidak bisa diketahui terutama hikmah yang bersifat 1 M. Quraish Shihab, Fatwa-fatwa M. Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999), 23. 2 M. Shabis U., Nilai-Nilai Pendidikan Dalam Ibadah Puasa, Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 14, No. 2, Desember 2012, 137. 1
4 ruhaniah. Misalnya bagaimana puasa menjadi benteng terhadap api neraka, dapat menghapuskan dosa fitnah, dan dapat mengantarkan manusia ke gerbang kerajaan Ilahi, merupakan hikmah-hikmah ruhaniah yang tidak dapat diketahui prosesnya. Ini tidak mengherankan, karena masalah ruh adalah urusan Allah, dan puasa adalah ibadah untuk Allah semata-mata yang mendapat ganjaran langsung, dan tidak terbatas dari Allah SWT sendiri. Puasa sebagai salah satu rukun Islam, adalah suatu bentuk ibadah yang mempunyai hikmah sangat dalam dan merupakan tugas yang diwajibkan oleh Allah di bulan Ramadhan dan dilaksanakan pada siang hari. Bila puasa tidak mengandung hikmah, tentu tidaklah terdapat perbedaan antara puasa di waktu siang dan di waktu malam, di bulan Ramad{an ataupun bukan bulan Ramad{an. Kalau puasa hanya untuk menahan lapar dan haus, maka seharusnya hanya makan dan minum saja larangannya, dan yang lain dari itu tidak perlu dilarang. Puasa di dalam Islam disebut al-s}ia<m, kata ini berasal dari bahasa Arab yang mempunyai arti menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual dengan tujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Puasa yang diperintahkan, yang dituangkan nashnya dalam Al Qur an dan Sunnah, berarti meninggalkan dan menahan diri, dengan kata lain, menahan dan mencegah dari hal-hal yang boleh meliputi perut dan keinginan kelamin, dengan niat mendekatkan diri pada Allah SWT.
5 Puasa Ramad{an adalah merupakan rukun Islam yang keempat dalam agama Islam dan hukumnya fard{u ain bagi tiap-tiap mukallaf. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S Al-Baqarah :185 Artinya : (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
6 mengagungkan Allah atas petunjuk-nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.(q.s Al-Baqarah : 185). 3 Dari berbagai definisi puasa di atas dapat dipahami dan diambil kesimpulan bahwa puasa secara umum dapat dikatakan upaya mencegah dan meninggalkan sesuatu baik makan, minum dan bersetubuh saja, akan tetapi lebih dari itu puasa merupakan bentuk ibadah yang pada intinya menahan diri dari segala macam perbuatan yang dilarang agama (Allah). Dari uraian di atas sebagai pijakan latar belakang masalah, penulis tertarik dan menganggap penting untuk mengkaji lebih lanjut materi puasa yang terkandung dalam kitab Riya<d{ al-badi< ah, maka judul penelitian ini adalah Materi Puasa dalam Kitab Sharh} Riya<d{ al-badi< ah dan Relevansinya dengan Kesehatan Mental. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana menurut al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< (Riya<d} al- Badi< ah) tentang materi puasa? 2. Bagaimana relevansi materi puasa dalam kitab Sharh} Riya<d} al-badi< ah perspektif al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dengan kesehatan mental? 3 Departeman. RI, Al Qur an dan Terjemahannya, 45.
7 C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang disebutkan, maka tujuan penelitian yang akan dicapai adalah: 1. Untuk mendeskripsikan perspektif al-shaykh Muhammad Nawawi< al- Ja<wi< (Riya<d} al-badi< ah) tentang materi puasa. 2. Untuk menjelaskan relevansi materi puasa dalam kitab Sharh} Riya<d} al- Badi< ah perspektif al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dengan kesehatan mental. D. Manfaat Penelitian Dalam setiap penelitian atau kajian apapun, diharapkan bisa menghasilkan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis. Sebagaimana yang akan dihasilkan dari penelitian ini yaitu: 1. Secara Teoritis Secara teoritis dari penelitian ini untuk mendapatkan konsep baru yang sahih mengenai materi puasa yang terdapat dalam kitab Riyadhul
8 Badi ah, sehingga dapat menjawab permasalahan secara komprehensif terutama yang terkait dengan materi puasa. 2. Secara Paktis a. Bagi penulis, dapat menambah wawasan dan pengalaman dalam hal penelitian. b. Bagi pihak yang relevan dengan penelitian ini, sehingga dapat dijadikan referensi, refleksi, ataupun dapat dijadikan perbandingan yang dapat digunakan lebih lanjut dalam mengembangkan pendidikan agama khususnya dalam bidang fiqh. E. Kajian Teori dan Atau Telaah Hasil Penelitian Terdahulu 1. Kajian Teori a. Materi Istilah materi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah benda, bahan dan segala sesuatu yang tampak. Penjelasan lebih lanjut tentang materi yaitu sesuatu yang menjadi bahan (untuk di ujikan, di pikirkan, di bicarakan dan di karangkan). 4 b. Pengertian Puasa Puasa sebagai salah satu rukun Islam, adalah suatu bentuk ibadah yang mempunyai hikmah sangat dalam dan merupakan tugas 4 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 927.
9 yang diwajibkan oleh Allah di bulan Ramad{an dan dilaksanakan pada siang hari. Bila puasa tidak mengandung hikmah, tentu tidaklah terdapat perbedaan antara puasa di waktu siang dan di waktu malam, di bulan Ramad{an ataupun bukan bulan Ramad{an. Kalau puasa hanya untuk menahan lapar dan haus, maka seharusnya hanya makan dan minum saja larangannya, dan yang lain dari itu tidak perlu dilarang. Puasa dalam bahasa Arab disebut s{aumun atau s{iyamun, artinya menahan diri dari segala sesuatu, seperti menahan tidur, menahan makan, manahan minum, menahan bicara dan seterusnya. 5 S{aumun atau sh{iyamun pada hakekatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Tentang arti puasa ini Yu<suf al-qardlawi< mengatakan puasa artinya menahan dam mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri, dan yang semisalnya sehari penuh, dari terbitnya fajar siddiq (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib), dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 6 Sebagaimana dalam firman Allah Surat Az Zumar ayat 10: 5 Nazaruddin Razak, Dienul Islam (Bandung: PT. Al-Ma arif, 1993), 260. 6 Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa (Surakarta: PT. Era Intermedia, 2000), 18.
10 Artinya: Katakanlah: "Hai hamba-hamba-ku yang beriman. bertakwalah kepada Tuhanmu". orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. 7 Dalam ayat di atas secara jelas menyatakan bahwa orang-orang yang sabar akan dilimpahkan pahala sebanyak-banyaknya dan tanpa batas sehingga tidak mungkin tercakup dalam hitungan. Puasa dalam pandangan Islam adalah ibadah vertikal, langsung kepada Illahi Rabbi dilakukan oleh seseorang (remaja) hamba secara sendiri-sendiri (individual). Pesan untuk berpuasa bagi segenap umat Islam disandarkan pada etika yang terdapat dalam al-qur a<n yang menjadi pedoman mutlak bagi kebebaran maupun keabsahannya dalam kehidupan. 8 Secara jelas al-qur a<n menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau 7 Departemen Agama RI, Al-Qur an dan Terjemahnya, 459. 8 Syahrin Harahap et. al., Nasehat Para Ulama Hikmah Puasa, Berpuasalah Agar Hidup dibimbing Menuju-Nya, (Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001), 137.
11 realisasi ketakwaan yakni menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang-nya. Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Puasa merupakan satu ibadah yang unik. Segi keunikannya misalnya, bahwa puasa merupakam rahasia antara Allah dan pelakunya. c. Pengertian Kesehatan Mental Kesehatan mental secara terminologis merujuk pada dua maksud yaitu sebagai disiplin ilmu dan kondisi mental yang normal. Dalam studi ini istilah kesehatan mental dipakai untuk maksud yang kedua, yakni terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta kesanggupan untuk menghadapi problem-problem yang terjadi, serta terhindar dari kegelisahan dan pertimbangan batin (konflik). 9 Ciri-ciri orang yang memiliki mental sehat adalah apabila: pertama, terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa. Kedua, mampu menyesuaikan diri dengan diri sendiri dan lingkungannya secara baik terutama terhadap perubahan yang biasa terjadi. Ketiga, mampu mengembangkan segala daya, potensi dan bakat secara optimal. Keempat, adanya kesesuaian antara fungsi-fungsi kejiwaan. Kelima, 9 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam (Yogyakarta: Yayasan Insan Kamil, 2001), 132.
12 dapat merasakan kebahagiaan dan kemampuan diri untuk menghadapi masalah yang biasa terjadi. Keenam, dapat menjawab tantangan hidupnya dengan baik. Ketujuh, beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. 2. Telaah Hasil Penelitian Terdahulu a. Penelitian yang pertama dilakukan oleh Ulfatul Munawaroh pada tahun 2011, NIM (210211163), dengan judul penelitiannya Analisis Materi Fiqh dalam Syi ir Fasholatan Karya K.H Sya roni Bin Sholeh Al-Hajj dan Relevansinya dengan Materi Fiqh di Madrasah Tsanawiyah. Dalam pembahasan tersebut membahas mengenai makna yang terkandung dalam kitab Syi ir Fasholatan, yang mana dalam kitab tersebut membahas tentang ilmu fiqih, yaitu sebuah ilmu yang mengupas tentang hukum Islam. Dalam Al-Qur an dan Sunah, istilah hukum Islam tidak ditemukan. Namun, yang digunakan adalah kata syari ah Islam, yang kemudian dalam penjabaran disebut istilah Fiqih. Adapun ruang lingkup hukum Islam itu meliputi, fiqh ibadah, fiqih muamalah, fiqih jinayah, fiqih siyasah, fiqih akhlak dn peraturan lainnya yang membahas lebih komplek tentang makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pengentasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, masjid, dakwah, perang, dan lain-lain.
13 b. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Nafi atur Rohmah, dengan judul penelitiannya: Pengembangan bahan ajar mata pelajaran fiqh di MAN 2 Ponorogo (semester genap) tahun pelajaran 2008/2009. Dalam pembahasan tersebut membahas mengenai bahan ajar yang digunakan di MAN 2 Ponorogo untuk menyampaikan mata pelajaran Fiqh bervariasi, disesuaikan dengan materi yang akan disampaikan. Apabila materinya tentang Fiqh Ibadah, Fiqh Siyasah, Fiqh Muamalah, maka bahan ajar yang digunakan adalah buku paket fiqh, LKS, buku penunjang yang relevan dengan materi dan kertas yang berisi materi terus ditempelkan di dinding. Sedangkan apabila materinya tentang Fiqh Jinayat, selain buku paket fiqh, LKS dan buku penunjang, bahan ajar yang digunakan adalah fenomenafenomena yang terjadi di masyarakat dan pendapat-pendapat para tokoh agama. Upaya pengembangan bahan ajar Fiqh di MAN 2 Ponorogo dilakukan dengan menggunakan berbagai metode dan media pembelajaran yang relevan dengan materi yang akan disampaikan. Selain itu, juga dilakukan melalui: Merumuskan materi yang akan disampaikan, menentukan tujuan pembelajaran, mengukur kemampuan awal siswa, menentukan materi atau bahan ajar yang akan digunakan dan mengalokasikan waktu pembelajaran. Kendala yang dihadapi guru Fiqh MAN 2 Ponorogo dalam mengembangkan bahan ajarnya, sangat kompleks yaitu: Media pembelajaran atau
14 fasilitas yang kurang memadai, waktu yang tersedia tidak cukup untuk proses belajar mengajar fiqh, konsentrasi siswa terganggu karena kecapekan habis olahraga dan penempatan jadwal mata pelajaran Fiqh yang kurang efektif dan efisien. Pemecahannya antara lain: Hendaknya sekolah menyediakan media pembelajaran yang dibutuhkan guru untuk menyampaikan materi pelajaran, hendaknya guru menyesuaikan waktu yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dengan alokasi waktu yang disediakan, apabila jadwal mata pelajaran Fiqh ditempatkan setelah olahraga, hendaknya guru menggunakan permainan-permainan yang menarik perhatian siswa sebagai metode pembelajaran supaya siswa tidak jenuh dan bosan dan hendaknya mata pelajaran Fiqh ditempatkan di pagi hari, karena otak siswa masih jernih, sehingga siswa bisa berkonsentrasi pada mata pelajaran Fiqh dan tujuan pembelajaran tercapai. Berdasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti di atas, maka secara teoritis penelitian ini memiliki relevansi bahasan mengenai materi Fiqh. Yang membedakan antara peneliti terdahulu dengan peniliti saat ini adalah kitab yang dijaikan pijakan atau kitab induk dari pokok pembahasan. Peniliti terdahulu menggunakan kitab Syi ir Fas{olatan karya K.H Sya roni Bin Sholeh al-h{ajj sedangkan peniliti saat ini adalah kitab Sharh} Riya<d{ Badi< ah Karya al-shaykh
15 Muhammad Nawawi< al-ja<wi<. Kedua kitab ini sama-sama popular di dalam dunia pesantren, khususnya di pesantren salaf. Perbedaan dari kedua kitab ini ialah Kitab Syi ir Fas{olatan itu seluruh bacaannya berupa bait-bait bahasa jawa yang dipelajari sambil menyanyikannya. Sedangkan kitab Riya<d{ Badi< ah itu sifatnya praktis dan simpel dalam mempelajarinya, dan sesuai dengan kesalafannya. F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Tulisan ini menggunakan metode kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah suatu penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. 10 Sedangkan jenis penelitiannya menggunakan studi pustaka (Library Research). Dalam hal ini bahan-bahan pustaka diberlakukan sebagai sumber ide untuk menggali pemikiran atau gagasan baru, sebagai bahan dasar untuk melakukan deduksi dari pengetahuan yang telah ada, sehingga kerangka teori baru dapat dikembangkan atau sebgaai dasar pemecahan masalah. 11 2. Data dan Sumber Data 10 Lexy moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2000), 3. 11 Tim Penyusun Jurusan Tarbiyah, Buku Pedoman Penulisan Skripsi: Edisi Revisi (Ponorogo: STAIN PO Press, 2016), 55.
16 a. Sumber Data Data sebuah penelitian merupakan hal pokok, karena penelitian dapat dilakukan kalau sudah adanya data yang diperlukan. Sumber data yang dijadikan dalam penelitian ini berasal dari literatur kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan kajian materi fiqh dalam kitab Sharh} Riya<d{ Badi< ah karya al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dan relevansinya terhadap kesehatan mental. Dalam penelitian ini sumber data dibagi menjadi dua kategori, yaitu: 1) Sumber Data Primer Sumber primer yaitu hasil-hasil penelitian atau tuisantulisan karya peneliti atau teoritis yang orisional. 12 Adapun sumber data primer yang peneliti gunakan adalah Kitab Sharh} Riya<d{ Badi< ah Karya al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi<. 2) Sumber Data Sekunder Sumber data ini digunakan untuk menunjang penelaah data-data yang dihimpun dan sebagai perbandingan dari data primer. Dengan kata lain, sumber dari buku-buku, kitab, dokumen yang berkaitan dengan kajian ini yaitu: 12 Ibnu Hadjar, Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Pendidikan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), 83.
17 a) KH. A. Zainuddin Djazuli, Fiqh Ibadah (Panduan Lengkap Beribadah Versi Ahlussunnah) (Kediri: Lembaga Ta lif Wannasyr PP. Al-Falah Ploso Mojo, 2013) b) A. Hassan, Tarjamah Bulughul Maram (Ibnu Hajar Al Asqalani) (Bandung: CV Diponegoro, 2002) c) Kementerian Agama, Fiqh (Jakarta: Kementerian Agama, 2016) d) H. Ibnu Mas ud dan H. Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi i (Bandung: Pustaka Setia, 2007) e) H. Ahmad Thib Raya dan Hj. Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam Islam (Jakarta: Prenada Media, 2003) f) Samson Rahman, Fiqh Thaharah (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2004) g) Abdul Rasyad Shiddiq, Fiqh Ibadah (Jakarta: Pustaka Al- Kautsar, 2006) h) KH. Abdul Hamid dan Beni Ahmad Saebani, Fiqh Ibadah (Bandung: Pustaka Setia, 2009) i) KH. Ahmad Idris Marzuqi, Menuju Kesuksesan Berakidah Islam dan Fikih Keseharian (Kediri: Lirboyo PRESS, 2009) j) Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar 1 (Surabaya: PT Bina Ilmu,1983)
18 3. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (Library Research), oleh sebab itu teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah pengumpulan data literer yaitu bahan-bahan pustaka yang berhubungan dengan objek pembahasan yang dimaksud. 13 Data yang ada dalam kepustakaan tersebut dikumpulkan dan diolah dengan cara: a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data yang diperolah terutama dari segi kelengkapan, kejelasan makna antara satu dengan yang lain. b. Organizing, yaitu menyatakan data-data yang diperoleh dengan kerangka yang sudah diperlukan. c. Penemuan hasil temuan, yaitu melakukan analisis lanjutan terhadap hasil pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah-kaidah, teori dan metode yang telah ditentukan sehingga diperoleh 1990), 24. 13 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta,
19 kesimpulan tertentu yang merupakan hasil jawaban dari rumusan masalah. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (content analysis). Teknik analisis isi di sini adalah teknik untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan, yang penggarapannya dilakukan secara objektif dan sistematis. Selain fungsi-fungsi tersebut, teknik analisis isi juga digunakan untuk membandingkan isi sebuah buku dengan yang lain dalam bidang kajian yang sama, baik berdasarkan kepada perbedaan waktu penulisannya, maupun mengenai kemampuan buku yang disajikan kepada khalayak masyarakat atau sekelompok masyarakat tertentu. Adapun prosedur analisa ini dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: 14 a. Seleksi buku yang akan dianalisis b. Rumuskan standar isi buku 14 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1996), cet. 2, 90-91.
20 c. Pengumpulan data dimulai dengan menyusun item, mengenai materi yang ada. d. Tetapkan cara pengumpulan data, yang dapat dipilih dengan cara bab demi bab, atau pasal demi pasal, atau pokok bahasan demi pokok bahasan, atau sekaligus seluruh isi buku. Dalam hal ini penulis mengumpulkan data dengan cara membaca seluruh isi buku. e. Lakukan pengolahan data yang telah diperoleh dan dideskripsikan hasilnya sehingga menghasilkan intepretasi untuk setiap penyajian pokok bahasan materi di dalam buku yang dianalisis. f. Rumuskan kesimpulannya. Nana Syaodih menjelaskan bahwa kegiatan analisis ditujukan untuk mengetahui makna, kedudukan, dan hubungan antara berbagai konsep, kebijakan, program, kegiatan, peristiwa yang ada atau yang terjadi untuk selanjutnya mengetahui manfaat, hasil atau dampak dari halhal tersebut. 15 G. Sistematika Pembahasan 15 Nana Syaodih Sukmadinata, Metode Penelitian Pendidikan (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2007), 81-82.
21 Untuk memudahkan pembaca dalam menelaah isi kandungan yang ada didalamnya, maka dalam sistematika pembahasan penulisan penelitian ini disusun sebagai berikut: BAB I berisi pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan gambaran global tentang isi penelitian skripsi yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian teori dan atau telaah hasil penelitian terdahulu, metode penelitian (pendekatan penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data dan teknik analisis data), serta sistematika pembahasan. BAB II akan memaparkan teori tentang puasa dan kaitannya dengan kesehatan mental. Bab ini memuat gambaran umum tentang puasa yang meliputi pengertian puasa, syarat dan rukun puasa, hikmah puasa, dan hal-hal yang membatalkan puasa. Kemudian gambaran umum tentang kesehatan mental yang meliputi pengertian kesehatan mental, ciri kesehatan mental, faktor-faktor kesehatan mental, dan gangguan kejiwaan. BAB III berisi tentang biografi pengarang, latar belakang pengarang dan penjelasan tentang isi kitab Sharh} Riya<d{ Badi< ah. BAB IV berupa analisa pembahasan hasil penelitian tentang materi puasa dalam kitab Sharh} Riya<d{ Badi< ah karya al-shaykh Muhammad Nawawi< al-ja<wi< dan relevansinya terhadap kesehatan mental.
22 BAB V merupakan penutup. Bab ini dimaksudkan untuk memudahkan bagi pembaca yang mengambil intisari dari skripsi yang berisi kesimpulan dan saran.
23 BAB II TEORI TENTANG PUASA DAN KESEHATAN MENTAL A. Teori Tentang Puasa 1. Pengertian Puasa Puasa dari segi bahasa berarti menahan (al-imsa<k) dan mencegah (al-man u) dari sesuatu, dengan kata lain yang sifatnya menahan dan mencegah dalam bentuk apapun termasuk didalamnya tidak makan dan tidak minum dengan sengaja (terutama yang bertalian dengan agama). 16 Menurut al-ra<ghib, kata al-s{aum pada dasarnya berarti menahan diri dari perbuatan, baik makan, berkata, maupun apa saja. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan atau makan disebut s{a< im. Demikian juga angin yang tidak berhembus disebut s{aum dan tengah haripun dikatakan s{aum sebagai gambaran tentang terhentinya matahari di puncak langit. Dari pengertian tersebut tersirat bahwa puasa mengandung ketenangan. 17 Arti puasa dalam bahasa Arab adalah al-s}oum atau al-s}ia<m yang berarti al-imsa<k (menahan). Maksudnya menahan diri dari segala hal. Menahan diri dari bicara berarti puasa bicara, menahan dari tidur berarti 771. 16 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), 17 Isnatin Ulfah, Fiqh Ibadah (Ponorogo: STAIN Po Press, 2009), 153. 20
24 puasa tidur, menahan diri dari makan dan minum berarti puasa makan dan minum, dan lain-lain. 18 Dalam al-qur a<n, kata-kata al-siam disebutkan sebanyak delapan kali, yaitu dalam surat al-baqarah ayat 182, 187, 190, 196, al-nisa< ayat 92, al-ma< idah ayat 89 dan 95, serta al-muja<dalah ayat 4. Kesemuanya dalam arti puasa menurut shari ah. Satu kali al-qur a<n menggunakan kata s{aum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bicara. Yaitu ucapan Maryam ketika ada yang mempertanyakan perihal kelahiran anaknya (Isa a.s) : Sesungguhnya aku telah bernadhar berpuasa untuk Tuhan yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini. (Q.S Maryam ayat 26) Makna al-s}iam dalam syariat Islam memiliki dua pengertian. Pertama, menahan diri dari segala perbuatan yang muft{irat (membatalkan). Kedua, menahan diri dari segala perbuatan muhlikat (merusak). 19 Muft{irat ialah segala tuntutan jasmaniah seperti makan, minum, dan hubungan seksual. Menahan diri dari muft{irat berarti menghentikan segala kegiatan jasmaniah tadi sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari selama bulan Ramad{an, dilandasi keimanan dan ketaatan 18 Mas Izza, Fiqh Ramadlan (Jombang: Darul Hikmah, 2009), 3. 19 Habibi Alif, Risalah Puasa (Jombang: Darul Hikmah, 2009), 7.
25 terhadap Allah SWT, serta mengharapkan kerid{aan-nya semata-mata. Pada hal hari-hari biasa (di luar Ramad{an), semua perbuatan itu dihalalkan. Muhlikat ialah segala tuntutan nafsu dan shahwat yang menjurus kepada perbuatan dosa (munkar dan maksiat) seperti berdusta, menista, memfitnah, menghasut, menggunjing, mengadu domba, menipu, dan perbuatan keji yang tidak terpuji lainnya. Semua perbuatan muhkilat tadi diharamkan bagi manusia mukmin bukan hanya pada bulan Ramad{an saja, melainkan juga pada setiap saat. 20 Imam al-ghaza>li> membagi puasa setiap individu itu menjadi tiga: awam, khawash, dan khawash al-khawash. Puasa awam maksudnya adalah puasanya orang yang hanya menahan lapar dan haus agar puasanya tidak batal. Tidak lebih dari itu. Puasa khawash mengandung makna puasa awam dengan tambahan orang itu mampu mengendalikan segala anggota tubuhnya untuk juga berpuasa, dengan menahan diri dari segala yang membatalkan, baik yang disebabkan oleh dorongan lapar dan haus maupun dorongan-dorongan nafsu diri. Orang dengan kategori ini sudah bisa menjadikan jiwanya untuk mengendalikan segala bentuk aktivitas yang tidak diperankan. Sedangkan kategori yang ketiga, khawash alkhawash, merupakan puasa adiluhung. Puasa yang tidak hanya menahan 20 Ibid., 7.
26 lapar dan haus, tidak hanya menahan anggota tubuhnya untuk tidak melakukan tindakan yang membatalkan puasanya, melainkan sudah puasa pada hati mereka. Malah oleh beberapa ulama, orang yang berpuasa dengan karakteristik semacam ini tidak terlalu memusingkan akan berbuka puasa dengan apa. Bagi mereka itu tidak penting. Yang lebih mereka perhatikan adalah bagaimana puasa itu benar-benar menjadikan jiwanya tenang, mampu mengendalikan sisi luar dan sisi dalam mereka. Mereka mencari manfaat yang sangat dalam dari puasa itu. 21 Dalam hukum Islam puasa berarti menahan, berpantang, atau mengendalikan diri dari makan, minum, seks, dan hal-hal lain yang membatalkan diri dari terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenam matahari (waktu maghrib). 22 Adapun definisi puasa menurut Yu<suf al- Qardla<wi adalah mencegah kemauan dari makan, minum, bersetubuh dengan istri sehari penuh mulai terbit fajar (waktu subuh) hingga terbenamnya matahari (waktu maghrib) dengan niat tunduk dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. 23 43. 21 Ibid., 89. 22 Ahmad Syarifuddin, Puasa Menuju Sehat Fisik dan psikis (Jakarta: Gema Insani, 2003), 23 Yusuf Al-Qardlawi, Fiqh al-s{ia<m, terj. Ma ruf Abd al-jali<l (Solo: Intermedia, 1998), 20.
27 Ada juga yang mendefinisikan puasa dari segi syara ialah menahan dalam arti khusus dan dilakukan orang tertentu serta pada waktu yang tertentu pula, disertai beberapa syarat. 24 Dengan kata lain, puasa adalah menahan diri dari perbuatan (fi li) yang berupa dua macam syahwat (syahwat perut dan syahwat kemaluan) serta menahan diri dari segala sesuatu agar tidak masuk perut, seperti obat atau sejenisnya. Hal itu dilakukan pada waktu yang telah ditentukan, yaitu semenjak terbit fajar kedua (fajar s{adiq) sampai terbenam matahari, oleh orang tertentu yang berhak melakukannya, yaitu orang muslim, berakal, tidak sedang haid, dan tidak sedang nifas. Puasa harus dilakukan dengan niat yakni bertekad dalam hati untuk mewujudkan perbuatan itu secara pasti, tidak ragu-ragu. Tujuan niat adalah membedakan antara perbuatan ibadah dan perbuatan yang telah menjadi kebiasaan. 25 Dalam Islam puasa yang dilakukan pada bulan Ramad{an maupun puasa sunah di luar Ramad{an membuat kita bisa menjadi lebih takwa dan lebih sabar. Bila yang halal saja dapat kita tahan dengan puasa, apalagi yang haram. Dalam puasa juga terdapat pendidikan dan pembinaan jiwa serta obat bagi banyak penyakit psikis dan fisik. Jadi, menahan makan dan 24 Al-Imam Taqayyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifa<yatu al-ah{ya<r fi< al-ghayati al-ih{tisa<r, terj. Kifa<yatu al-ah{yar 1 (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983), 467. 25 Wahbah Al-Zuhayly, Puasa dan Itikaf, terj. Al-Fiqh al-islam wa< adillatuh (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005), 84-85.
28 minum sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari sebulan Ramadan penuh merupakan pelatihan bagi manusia dalam melawan dan mengendalikan shahwatnya, serta dapat menebarkan semangat ketakwaan. Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. 26 (Q.S al-baqarah ayat 183) Di antara manfaat psikologis puasa adalah membuat orang-orang kaya merasakan pedihnya lapar serta menimbulkan perasaan kasih sayang dalam jiwanya terhadap fakir miskin dan hal tersebut mendorongnya berbuat baik kepada mereka. Keadaan ini akan memperkuat semangat kerja sama, solidaritas, dan kesetiakawanan sosial. Di samping manfaat psikologis tersebut, puasa juga memiliki manfaat medis dan terapis dari berbagai penyakit tubuh. Sebagaimana 26 Departeman. RI, Al Qur an dan Terjemahannya, 28.
29 diketahui, kesehatan tubuh manusia mempunyai pengaruh terhadap kesehatan jiwanya. 27 2. Syarat dan Rukun Puasa Kewajiban berpuasa berhubungan erat dengan muslim. Hanya orang Islam saja yang diwajibkan berpuasa dengan syarat-syarat: orang Islam, baligh, berakal, kuat (sehat). Sedangkan rukun puasa diantaranya adalah niat, menahan makan dan minum, menahan bersenggama (bersetubuh), menjaga muntah, dan mengetahui waktu. 28 3. Manfaat Puasa Puasa memiliki beberapa manfaat, ditinjau dari segi kejiwaan, sosial dan kesehatan, agama tidak hanya mengatur masalah keagamaan saja, namun jika kita dapat mendalami dan menghayati lebih dalam apa yang telah disyari atkan beliau Nabi Muhammad SAW itu ada manfaatnya, baik secara d}ohi<r maupun batin. Manfaat puasa diantaranya adalah: 27 Muhammad Usman Najati, Psikologi dalam al-qur an (Terapi Qur ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan): Terj. Al-Qur an Wa Ilmu al-nafs (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), 460-662. 28 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), 122-123.
30 a. Puasa membiasakan kesabaran, menguatkan kemauan, mengajari dan membantu bagaimana menguasai diri, serta mewujudkan dan membentuk ketakwaan yang kokoh dalam diri, yang ia merupakan hikmah puasa yang paling utama. b. Termasuk manfaat puasa secara sosial adalah membiasakan umat berlaku disiplin, bersatu, cinta keadilan dan persamaan, juga melahirkan perasaan kasih sayang dalam diri orang-orang beriman dan mendorong mereka berbuat kebajikan. Sebagaimana ia juga menjaga masyarakat dari kejahatan dan kerusakan. c. Puasa jika ditinjau dari segi kesehatan adalah membersihkan usususus, memperbaiki kerja pencernaan, membersihkan tubuh dari sisasisa dan endapan makanan, mengurangi kegemukan dan kelebihan lemak di perut. d. Termasuk manfaat puasa adalah mematahkan nafsu. Karena berlebihan, baik dalam makan maupun minum serta menggauli istri (suami), mematahkan nafsu yang mendorong berbuat kejahatan, enggan mensyukuri nikmat serta mengakibatkan kelengahan. e. Di antara manfaatnya puasa juga sebagai sarana mengosongkan hati hanya untuk berfikir dan berdzikir. Sebaliknya, jika berbagai nafsu syahwat itu dituruti maka bisa mengeraskan dan membutakan hati, selanjutnya menghalangi hati untuk berdzikir dan berfikir, sehingga membuatnya lengah. Berbeda halnya jika perut kosong dari makanan
31 dan minuman, akan menyebabkan hati bercahaya dan lunak, kekerasan hati sirna, untuk kemudian semata-mata dimanfaatkan untuk berdzikir dan berfikir. f. Orang kaya akan menjadi tahu seberapa nikmat Allah atas dirinya. Allah mengaruniainya nikmat tak terhingga, pada saat yang sama banyak orang-orang miskin yang tidak mendapatkan sisa-sisa makanan, minuman dan tidak pula menikah. Dengan terhalangnya dia dari menikmati hal-hal tersebut pada saat-saat tertentu, serta rasa berat yang ia hadapi karenanya. Keadaan itu akan mengingatkannya kepada orang yang sama sekali tidak dapat menikmatinya. Ini akan mengharuskannya mensyukuri nikmat Allah atas dirinya berupa serba kecukupan, juga akan mmenjadikannya berbelas kasih kepada saudaranya yang memerlukan, dan mendorongnya untuk membantu mereka. g. Termasuk manfaat puasa adalah mempersempit jalan aliran darah yang merupakan jalan masuknya syetan pada diri anak adam. Karena syetan masuk kepada anak adam melalui jalur aliran darah. Dengan berpuasa, maka dia aman dari gangguan syetan, kekuatan nafsu syahwat dan kemarahan. Karena itu Nabi Muhammad SAW menjadikan puasa sebagai benteng untuk menghalangi nafsu syahwat nikah, sehingga
32 beliau memerintah orang yang belum mampu menikah dengan berpuasa. 29 4. Hikmah Puasa Islam tidak mensyariatkan sesuatu selain pasti mengandung hikmah, ada yang diketahui, ada pula yang tidak. Demikian juga, perbuatan-perbuatan Allah tidak terlepas dari berbagai hikmah yang terkandung dalam ciptaan-nya, hukum-hukum-nya pun tidak terlepas dari jautan hikmah. Ini semua terkandung dalam aspek-aspek ibadah dan muamalah secara keseluruhan, juga terkandung dalam hal-hal yang diwajibkan dan hal-hal yang diharamkan. Sesungguhnya Allah SWT tidak berhajat kepada apa pun, namun hamba-hamba-nyalah yang menghajatkan-nya. Dia tidak mendapatkan manfaat dari ketaatan hamba-hamba-nya sedikitpun, tidak juga 1426 H), 85-88. 29 Muhammmad Yusuf Harun, Risalah Ramadhan (Rabwah: Islamic Propagation Office,
33 mendapatkan mudarat dari pembangkangan mereka. Hikmah dari ketaatan akan kembali kepada orang-orang mukallaf itu sendiri. 30 Adapun hikmah-hikmah puasa diantaranya adalah sebagai berikut. a. Tazkiya>tu Al-Nafs (Pembersihan Jiwa) Hakikat s{oum atau s{ia<m bukan sekedar perbuatan lahir dalam menahan makan dan minum atau berhubungan dengan suami (istri). Lebih dari itu, s{ia<m adalah upaya tazkiyatun an-nafs (pembersihan jiwa) bagi setiap muslim. Dengan demikian, s{ia<m adalah suatu media yang sangat baik untuk menghilangkan kotoran-kotoran jiwa, sekaligus merupakan momentum titik tolak peningkatan kehidupan ruhaniyah. Untuk menuju kea rah pembersihan jiwa ini, yang kita lakukan tentu tidak pada lahirnya saja, tetapi batin harus disyiamkan pula. Imam Al-Gazali menjelaskan bahwa puasa di sampig menyehatkan badan sebagaimana dinyatakan oleh para dokter spesialis juga mengangkat aspek kejiwaan mengungguli aspek materi dalam diri manusia. Manusia, sebagaimana sering dipersepsi banyak orang, memiliki tabiat ganda. Ada unsure tanah, ada pula unsure ruh yang ditiupkan Allah padanya. Satu unsur menyeret manusia ke bawah, unsur yang lain mengangkatnya ke atas. b. Sarana Pendidikan, Perubahan, dan Penjagaan 30 Yusuf Qardhawi, Fiqih Puasa (Solo: Era Intermedia, 2006), 21.
34 Puasa merupakan pendidikan bagi ira<dah (kemauan), perjuangan bagi jiwa, pembiasaan kesabaran, dan perubahan dari halhal yang telah lekat mentradisi. Oleh karena itu, tidak mengherankan ketika Rasulullah SAW menamakan bulan Ramadhan sebagai bukan kesabaran. Sebagaimana halnya Nabi SAW menganggap puasa sebagai junnah (perisai), sebagaimana hadits dari Abu Hurairah riwayat Bukhari dan Muslim, yaitu perisai untuk melindungi diri dari api neraka di akhirat. Puasa berpengaruh mematahkan gelora syahwat ini dan mengangkat tinggi-tinggi nalurinya, khususnya jika terus menerus melakukan puasa dengan megharap pahala Allah SWT, oleh karena itu, Rasulullah SAW memerintahkan puasa kepada pemuda yang belum mampu menikah, hingga Allah melimpahkan karunia-nya kepadanya. Beliau SAW bersabda, Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu maka nikhlah. Sesungguhnya ia lebih dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Sedangkan barang siapa tidak mampu maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu penjagaan baginya (HR Bukhari dari Ibnu Mas ud r.a.). Maksudnya, puasa dapat menurunkan dorongan syahwat kepada lawan jenis.
35 c. Memperkuat Rasa Syukur Nikmat Di antara hikmah puasa adalah menajamkan perasaan terhadap nikmat Allah SWT kepada manusia. Akrabnya nikmat bisa membuat orang kehilangan perasaan terhadap nilainya. Ia tidak mengetahui kadar kenikmatan, kecuali jika sudah tidak ada di tangannya. Dengan hilangnya nikmat, akan lebih diketahui nilai nikmat tersebut. Seseorang dapat merasakan nikmatnya kenyang dan nikmatnya pemenuhan dahaga jika ia lapar atau kehausan. Jika ia merasa kenyang setelah lapar, atau hilang dahaga setelah kehausan, akan keluar dari relung hatinya ucapan tulus. Hal itu mendorongnya untuk mensyukuri nikmat-nikmat Allah secara terus-menerus tanpa henti. d. Menguatkana Toleransi dan Solidaritas Puasa juga mempunyai hikmah ijtima iyah (hikmah sosial), khususnya puasa Ramadhan. Puasa menanamkan dalam diri orangorang yang mampu agar berempati terhadap derita orang-orang fakir miskin, atau sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnul Qayim, Ia dapat mengingatkan mereka akan kondisi laparnya orang-orang miskin. Pada bulan Ramadhan ini terdapat pembiasaan selama sebulan penuh, yang mengajak kepada sikap kasih saying, persamaan, dan kelemah lembutan, antara satu individu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam beberapa riwayat, Ramadhan disebut sebagai shahr al-
36 muwa<sa<h (bulan solidaritas), dan Nabi SAW lebih pemurah dalam memberikan kebaikan dibanding angin yang bertiup. e. Meninggikan Derajat Ketakwaan Puasa mempersiapkan orang menuju derajat taqwa dan naik ke kedudukan orang-orang muttaqin. Ibnul Qayim mengatakan bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam memelihara fisik, memelihara kekuatan batin, dan mencegah bercampuraduknya berbagai bahan makanan yang merusak kesehatan. Puasa memelihara kesehatan hati dan anggota badan, serta mengembalikan lagi hal-hal yang telah dirampas oleh tangan-tangan nafsu syahwat. Ia adalah sebesar-besar pertolongan untuk membangun taqwa, sebagaimana firman Allah SWT, Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kalian puasa, sebagaimana yang telah diwajibkan atas orangorang sebelum kalian, agar kalian bertaqwa (Al-Baqarah ayat 185). Puasa Ramadhan merupakan madrasah mutamayyizah (sekolah istimewa) yang dibuka setiap tahun untuk proses pendidikan praktis menanamkan seagung-agung nilai dan setinggi-tinggi hakikat ketaqwaan. Barang siapa memasuki madrasah Ramadhan, mengerjakan puasa dengan sempurna sebagaimana dituntutkan, menjalankan qiyamullail sebagaimana yang disyariatkan Rasulullah
37 SAW ia telah berhasil menempuh ujian mendapatkan nilai keuntungan yang sangat besar dan penuh berkah. 31 B. Teori Tentang Kesehatan Mental 1. Pengertian Kesehatan Mental Berbicara tentang kesehatan mental, kita tidak dapat memisahkan diri dari pengetahuan kesehatan mental itu sendiri. Karena bagaimana mungkin berbicara tentang kesehatan mental sementara kita tidak mengetahui definisinya. Kesehatan mental sering disebut dengan istilah mental healt dan atau mental hygiene. Usaha para psikolog yang kemudian menelurkan ilmu baru ini berawal dari keluhan-keluhan masyarakat sebagai akibat dari munculnya gejala-gejala yang menggelisahkan. Fenomena psikologis ini tampaknya tidak hanya dirasakan oleh individu, tetapi dirasakan pula oleh masyarakat luas. Ilmu kesehatan mental berkaitan erat dengan terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit kejiwaan. Pengertian klasik ini sangat sempit karena kajian ilmu kesehatan mental hanya diperuntukkan bagi orang yang mengalami gangguan dan penyakit jiwa saja. Padahal, 2010), 16-22. 31 Cahyadi Takariawan, Panduan Ibadah Ramadhan (Solo: PT Era Adicitra Intermedia,
38 ilmu ini juga sangat dibutuhkan oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan hidup. 32 Kesehatan mental (mental hygiene) adalah ilmu yang meliputi sistem tentang prinsip-prinsip, peraturan-peraturan, serta prosedurprosedur untuk mempertinggi kesehatan ruhani. Orang yang sehat mentalnya ialah orang yang dalam ruhani atau dalam hatinya selalu merasa tenang, aman, dan tenteram. Menurut H.C. Witherington, permasalahan kesehatan mental menyangkut pengetahuan serta prinsipprinsip yang terdapat lapangan psikologi, kedokteran, psikiatri, biologi, sosiologi, dan agama. 33 Mental mempunyai pengertian yang sama dengan jiwa, nyawa, sukma, roh, dan semangat. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan yang berkembang pesat, pengertian tentang kesehatan mental juga mengalami perluasan yang sebelumnya terbatas pada pengertian gangguan jiwa dan penyakit jiwa. Kilander mengartikan kesehatan mental sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dalam diri sendiri dengan orang lain dan masyarakat serta di lingkungan di mana ia hidup. Musthafa Fahmi, seorang psikologi Mesir, dalam mendefinisikan kesehatan mental ada dua pola yang bisa dilihat. Pertama, pola negatif. 32 Tamami HAG, Psikologi Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2011), 85. 33 Jalaluddin, Psikologi Agama (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 154.
39 Menurut pola ini, kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari segala neurosis dan psikosis. Kedua, pola positif. Menurut pola ini, kesehatan mental adalah kemampuan individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap lingkungan sosialnya. Bastaman menyebutkan mengenai empat pola yang ada dalam kesehatan mental. Pertama, pola simtomatis. Artinya, terhindarnya seseorang dari segala gejala), keluhan, dan gangguan mental, baik berupa neurosis maupun psikosis. Kedua, pola penyesuaian diri. Artinya, kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri secara aktif terhadap lingkungan sosialnya. Ketiga, pola pengembangan diri, yaitu kemampuan individu untuk memfungsikan potensi dan kualitas potensi manusiawinya secara maksimal, sehingga ia memperoleh manfaat bagi dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Keempat, pola agama. Di sini kesehatan mental diartikan sebagai kemampuan individu untuk melaksanakan ajaran agama secara benar dan baik dengan landasan keimanan dan ketakwaan. Sementara menurut Zakiah Drajat mengartikan kesehatan mental dengan terwujudnya keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsifungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan lingkungannya, berlandasan keimanan dan ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan di akhirat. Dengan rumusan lain, kesehatan mental ialah suatu ilmu yang berpautan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia, yang
40 mencakup semua bidang hubungan manusia, baik hubungan dengan diri sendiri maupun hubungan dengan orang lain, hubungan dengan alam dan lingkungan, serta hubungan dengan Allah SWT. 34 Demikianlah pengertian tentang kesehatan mental. Sesungguhnya hanya dengan kesehatan mental dalam arti yang luaslah bisa terwujud kesejahteraan dan kebahagiaan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Tanpa pengertian demikian, orang mungkin saja dapat mencapai kondisi mental yang memadai tetapi itu hanya dalam arti semu. Kondisi kesehatan mental yang sesungguhnya adalah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia di dunia dan akhirat, serta ilmu dan agama. Bagaimanapun agama memiliki peranan yang besar dalam kehidupan manusia. Agama merupakan salah satu kebutuhan psikis manusia yang perlu dipenuhi oleh setiap orang yang merindukan ketenteraman dan kebahagiaan. Kebutuhan psikis manusia akan keimanan dan ketakwaan kepada Allah tidak akan terpenuhi kecuali dengan agama. 35 2. Ciri Kesehatan Mental Killander, pada tahun 1957, mengidentikkan orang yang mentalnya sehat dengan apa yang disebutnya sebagai individu yang normal. Mereka adalah orang-orang yang memperlihatkan kematangan 34 Zakiah Darajat, Kesehatan Mental (Jakarta: CV Haji Masagung, 1988), 13. 35 Ibid., 95-96.
41 emosional, kemampuan menerima realitas, kesenangan hidup bersama orang lain, dan memiliki filsafat atau pegangan hidup pada saat ia mengalami komplikasi kehidupan sehari-hari sebagai gangguan. 36 Ciri-ciri individu yang memiliki sehat mental seperti dikatakan Killander itu tampaknya sederhana tetapi seringkali sukar terlihat dalam kenyataanya sehari-hari. Untuk itu perlu dikemukakan rincian pengertian ciri-ciri tersebut sesuai dengan maksudnya, sebagai berikut: a. Kematangan emosional Terdapat tiga dasar emosi, yaitu cinta, takut dan marah. Kita mencintai hal yang membuat kita senang, takut kalau ada hal yang mengancam rasa aman kita, dan marah kalau ada yang mengganggu atau menghambat jalan dan usaha untuk mencapai apa yang kita inginkan. Ketiga dasar emosi ini diturunkan dan bersifat universal. Terdapat tiga ciri perilaku dan pemikiran pada orang yang emosinya disebut matang, yaitu memiliki disiplin diri, determinasi diri, dan kemandirian. b. Kemampuan menerima realitas Adanya perbedaan antara dorongan, keinginan dan ambisi di satu pihak, serta peluang dan kemampuan di pihak lainnya, adalah hal yang bisa terjadi. Orang yang memiliki kemampuan untuk menerima 36 Iin Tri Rahayu. PSIKOTERAPI Perspektif Islam dan Psikologi Kontemporer (Yogyakarta: Sukses Offset, 2009), 285.
42 realitas antara lain memperlihatkan perilaku mampu memecahkan masalah dengan segera dan menerima tanggung jawab. Bahkan kalau memungkinkan lingkungan dan kalau tidak memungkinkan, tidak sukar untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, terbuka untuk pengalaman dan gagasan baru, membuat tujuan-tujuan yang realistis, serta melakukan yang terbaik sampai merasa puas atas hasil usahanya tersebut. c. Hidup bersama dan bekerja sama dengan orang lain Hal ini menyangkut hakikat dirinya sebagai makhluk sosial, yang tidak sekedar mau dan bersedia serta mampu bekerja sama untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi daripada dikerjakan sendiri, melaikan juga karena tidak dapat bertahan hidup sendiri. Ciri normal secara sosial ini antara lain terlihat pada adanya kemampuan dan kemauan untuk mempertimbangkan minat dan keinginan orang lain dalam tindakan-tindakan sosialnya, mampu menemukan dan memanfaatkan perbedaan pandangan dengan orang lain dan mempunyai tanggung jawab sosial serta merasa bertanggung jawab terhadap nasib orang lain. d. Memiliki filsafat atau pandangan hidup Yang dimaksud dengan memilki filsafat hidup adalah memiliki pegangan hidup yang dapat senantiasa membimbingnya untuk berada dalam jalan yang benar, terutama saat menghadapi atau berada dalam
43 situasi yang mengganggu atau membebani. Filsafat hidup ini memiliki dua muatan utama, yaitu makna hidup dan nilai hidup. Jadi, orang yang sehat mental senantiasa dibimbing oleh makna dan nilai hidup yang menjadi pegangannya. Ia tidak akan terbawa begitu saja oleh arus situasi yang berkembang di lingkungannya maupun perasaan atau suasana hatinya sendiri yang bersifat sesat. 37 3. Tanda-Tanda Kesehatan Mental Kesehatan mental dalam pandangan psikologi Islam besar fungsinya terhadap jiwa atau fikiran, sikap jiwa, pandangan dan keyakinan hidup sehingga dapat terfokuskan pada keharmonisan yang menjauhkan diri dari perasaan ragu dan bimbang serta terhindar dari kegelisahan dan pertentangan batin (konflik). Dari sini kita dapat mengetahui betapa pentingnya kesehatan mental dalam psikologi Islam sebab kalau seseorang itu terganggu kesehatan mentalnya tentu akan muncul tanda-tanda yang ditimbulkan dari gejala mentalnya yang tidak sehat. 38 Tanda-tanda kesehatan mental, menurut Muhammad Mahmud terdapat sembilan macam, antara lain: 37 Ibid., 287-289. 38 Imam Malik, Pengantar Psikologi Umum (Yogyakarta: Sukses Offset, 2011), 274.
44 a. Kemapanan (al-saki<nah), ketenangan (al-tuma ni<nah), dan rileks batin dalam menjalankan kewajiban, baik kewajiban terhadap dirinya, masyarakat, maupun Allah SWT. b. Memadahi (al-kifa<yah) dalam beraktifitas. Seseorang yang mengenal potensi, keterampilan, dan kedudukannya secara baik maka ia dapat bekerja dengan baik pula, dan hal itu merupakan tanda dari kesehatan mentalnya. Sebaliknya, seseorang yang memaksa menduduki jabatan tertentu dalam bekerja tanpa diimbangi kemampuan yang memadai maka hal itu akan mengakibatkan tekanan batin, yang pada saatnya mendatangkan penyakit mental. c. Menerima keberadaan dirinya dan keberadaan orang lain. Orang yang sehat mentalnya adalah orang yang menerima keadaan sendiri, baik berkaitan dengan kondisi fisik, kedudukan, potensi, maupun kemampuannya, karena keadaan itu merupakan anugerah dari Allah SWT untuk menguji kualitas kerja manusia. d. Adanya kemampuan untuk memelihara atau menjaga diri. Artinya, kesehatan mental seseorang ditandai dengan kemampuan untuk memilah-milah dan mempertimbangkan perbuatan yang akan dilakukan. Jika perbuatan itu semata-mata untuk kepuasan seksual, maka jiwa harus dapat menahan diri, namun jika kepentingan ibadah atau takwa kepada Allah SWT maka harus dilakukan sebaik mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar