Minggu, 02 Februari 2020

Contoh Metode Introspeksi


jika engkau bisa, jadilah seorang ulama. Jika engkau tidak mampu, maka jadilah penuntut ilmu. Bila engkau tidak bisa menjadi seorang penuntut ilmu, maka cintailah mereka. Dan jika kau tidak mencintai mereka, janganlah engkau benci mereka. (Umar bin Abdul Aziz)

#Contoh Metode Introspeksi#
1.Sadar diri
Cara yang tepat dalam metode introspeksi adalah sadar diri.  Apabila Anda memiliki kelemahan mendengar yang efektif maka belajarlah menjadi pendengar yang baik. Orang yang sombong tidak mau melakukan evaluasi diri sehingga tidak dapat menyadari diri sendiri tentang kekurangannya.
Mayoritas dari mereka merasa dirinya selalu benar. Sikap yang tidak sadar diri akan membuat orang selalu menyalahkan orang lain atau bahkan Tuhan atas segala kegagalannya. Oleh sebab itu, sikap sadar diri sangat penting dalam kehidupan, dengan sadar diri kita mampu mengidentifikasi segala faktor yang menyebabkan kegagalan tersebut.
2. Kenali kelemahan diri
Proses mengenali diri memang memerlukan waktu. Dengan mengenali kemampuan dan kelemahan diri membuat Anda dalam proses mengembang diri sendiri.
Bagi Anda yang sudah mengenali kelamahan diri, jangan takut atau minder, jadikan kelemahan Anda sebagai pendorong atau penyemangat dalam meraih cita – cita.  Tujuan dalam mengenali kelemahan diri agar memotivasi Anda agar tetap terus berjuang dalam meraih keinginan.
3. Konsultasi dengan orang terdekat
Salah satu untuk mengintrospeksi diri tentang apa yang salah di diri Anda ? apa kurang di diri Anda?, maka sebaiknya Anda bertanya kepada orang – orang terdekat Anda.
Salah satu cara introspeksi ini memang sangat ampuh untuk memperbaiki diri Anda. Pasti saran orang – orang terdekat Anda demi kebaikan Anda.
Hal ini dikarenakan mereka secara jujur akan menceritakan semua hal tentang Anda baik dari segi positif maupun negatif Anda. Oleh sebab itu, Anda tidak perlu lagi dalam menanyakan pandangan mereka terhadap diri Anda.  mengenai 
3. Jangan egois
Untuk memudahkan Anda menerima kelemahan atau kekurangan Anda, sebaiknya Anda harus menerima pendapat orang lain terhadap diri Anda terutama orang – orang terdekat Anda. Jauhi diri Anda dari sifat egois, karena sifat ini akan menghancurkan Anda atau tidak mau menerima kritik terhadap diri Anda.
Dengan membuang jauh – jauh sifat egois Anda, maka Anda dapat membuka diri terhadap semua kritik yang di lontarkan orang lain. Tidak semua kiritikan adalah bulyan, bahkan terkadang bulyan itu merupakan kritikan yang tajam dan membangun untuk perbaikan diri Anda.
4. Jadikan kegagalan adalah pembelajaran
Setiap orang pasti memiliki kisah sedih tentang kegagalannya. Apapun kegagalan itu seperti gagal nikah, gagal lolos tes kerja, gagal bisnis atau lainnya harus Anda jadikan kegagalan – kegagalan tersebut sebagai referensi dan media pembelajaran.
Setiap orang juga memiliki kuota kegagalan, apabila Anda terus berjuang dalam meraih mimpi dan terus gagal, jangan khawatir nanti pasti ada ujungnya.
Jika kuota gagal Anda habis dengan kata lain Anda sudah berpengalaman di bidang yang Anda perjuangkan maka kegagalan tersebut berubah menjadi kesuksesan yang melebihi dari expektasi.
5. Hindari mindset bahwa Anda selalu benar
Sikap membuka diri akan melatih dan menajuhan diri dari sifat egois. Setiap hal terjadi di dunia ini harus Anda pahami. Tidak semua kebenarana adalah mutlak mirik diri Anda. Berhenti egois dan membuka pikiran Anda dengan melihat sisi yang lain dari oerang lain.
6. Berfikir positif
Salah satu cara mengintrospeksi diri Anda sendiri adalah dengan befikir positif dari apa yang di komentari dari orang lain terhadap diri Anda sendiri.
Berfikir positif ini dapat menciptakan kepribadian yang tidak egois dan mau menerima pandangan dari orang lain. Befikir positif juga menciptkan kesabaran dari apa yang Anda alami, apabila Anda mendapatkan kegagalan dengan berfikir posotif maka Anda akan tetap berusaha meraih keinginan tersebut dan menjadikan kegagalan sebagai media pembelajaran.
7. Lapang dada
Cara ini memang agak susah untuk dilakukan, bersabar atau lapang dada atau menerima suatu keadaan yang tidak terekpsektasikan dalam kehidupan Anda.
Dengan lapang dada, Anda akan dapat mengintrospeksikan apa yang kurang? apa yang perlu Anda perbaiki? sehingga Anda mampu bangkit untuk tetap berjuang meraih apa yang Anda ekspektasikan. Lapang dada adalah kunci dari instropeksi diri, karena bersabar akan membuka kesadaran diri dan kebulatan tekad dalam menjalankan aktifitas.

Pengertian evakuasi adalah tindakan untuk membuat orang-orang menjauh dari ancaman atau kejadian yang sangat berbahaya. Contohnya mulai dari yang kecil seperti evakuasi kebakaran sampai level bencana nasional seperti evakuasi kontaminasi nuklir, banjir, badai tornado, perang ataupun kondisi extreme lainnya
Pengertian kuota adalah jumlah tempat, barang dan hal lainnya yang memiliki jumlah batasan. Biasanya kuota lebih sering dipakai dalam jumlah batasan orang untuk mengikuti tes masuk sekolah, PNS dan hal lainnya yang jumlah diterimanya hanya bisa dimasuki dalam jumlah tertentu saja. Dengan demikian, kuota dapat diartikan sebagai keterbatasan. Mengapa demikian? Karena kuota merupakan sebuah jumlah yang memiliki keterbatasan mengenai daya tampungnya.
Menurut Islam 
Kemudian ia segera melakukan ribath (murabathah) untuk dirinya sendiri  yaitu dengan melakukan 6 tingkatan yaitu:
  1. Musyarathah. 
  2. Muraqabah
  3. Muhasabah
  4. Mu’aqabah
  5. Mujahadah
  6. Mu’atabah.
Musyarathah adalah yang mensyaratkan pada dirinya sejak hari pertamanya agar pada hari itu jangan melakukan perbuatan apa pun yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah, serta mengambil ketetapan dan keteguhan hati dalam hal tersebut." Masalah keteguhan hati di sini berpulang pada kemampuan setiap orang. Barangsiapa meninggalkan sebagian kewajiban atau melakukan sebagian keharaman, maka ia harus berteguh hati untuk melaksanakan semua kewajiban dan meninggalkan semua keharaman. 

1.Musyarathah...

Musyarathah Mencapai Keteguhan Hati ke Jalan Allah

Berasal dari kata syaaratha-yusyaarithu, artinya saling memberikan syarat

Demikian pula akal pun butuh kepada mitra, dan mitra itu adalah  jiwa kita. Akal pun memberikan tugas-tugas,  memberikan syarat-syarat, kepada jalan kebaikan, dan akal pun tidak boleh lalai untuk mengawasinya. Sebagaimana di dalam bisnis perdagangan, apabila mitra melakukan khianat maka ia akan merugi. Maka supaya kita tidak dikhianati dengan mitra-mitra kita, caranya yaitu dengan memberikan syarat-syarat yang jelas di atas kertas yang tegas sehingga diapun tidak macam-macam. Setelah itu kita awasi gerak-geriknya, dan berbagai macam tindak tanduknya supaya tidak merugikan usaha kita. Itulah kehidupan dunia perbisnisan.

Barangsiapa sampai pada batasan ini, yang tidak meninggalkan suatu kewajiban dan tidak melakukan suatu keharaman, maka ia harus berteguh hati untuk berpindah ke fase yang di situ ia tidak meninggalkan pekerjaan mustahabb [sunna] dan tidak mengerjakan kemakruhan. Barangsiapa sampai pada fase tersebut, maka ia harus berketetapan hati untuk tidak melakukan perbuatan mubah, melainkan melakukan semua perbuatannya dengan niat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Selanjutnya, apabila ia sampai ke fase ketakwaan, ini maka ia berteguh liati untuk berpindah ke batin nya untuk melatih dirinya tidak berpikir tentang kemaksiatan untuk selama-lamanya, yaitu tanpa melakukannya. Demikianlah, setiap kali ia menaiki tingkatan demi tingkatan ibadah yang telah dikemukakan, maka ia melihat martabat dan tingkatan yang lebih tinggi dan berteguh hati untuk mencapainya. 

Jadi, musyarith (orang yang melakukan musyarathah) harus menentu­kan posisinya terlebih dahulu. Apabila ia telah menentukannya, maka ia beralih ke langkah berikutnya, lalu mensyaratkan atas dirinya—misalnya—agar meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah dalam satu hari. "Jelaslah bahwa meninggalkan perbuatan yang bertentangan dengan perintah-perintah Allah untuk satu hari sangatlah mudah dan seseorang dapat dengan mudah berpegang padanya" walau­pun tingkat kemudahannya untuk setiap orang berbeda-beda. "Oleh karena itu, berteguh hatilah, bersyaratlah, dan cobalah dengan sungguh-sungguh, serta perhatikan bagaimana perkara itu begitu mudah." Sebab, Allah SWT telah memberikan kemudahan kepada hamba. Maka, Kami akan memudahkan baginya dengan semudah-mudahnya jika ia berte­guh hati untuk melakukannya. 

Kalau dalam suatu hari seseorang ikhlasmaka ia pun mampu ikhlas dalam dua hari, tiga hari, dan seterusnya, hingga terwujudlah padanya substantiasi: "Barangsiapa ikhlas kepada Allah selama empat subuh (hari), maka sumber-sumber hikmah muncul dari hatinya ke lidah­nya. [Musnad asy-Syubhat, karya al-QadhI al-Qadhai, Mu'assasah ar-Risalah, Beirut: 1405, 1: 285/466.]" 

Barangsiapa yang selalu berada dalam keadaan suci [dari hadas] dalam satu hari, lalu dua hari dan tiga hari hingga ia selalu berpegang pada kesucian, maka ia dapat mewujudkan sabda Rasulullah saw., "Biasakanlah selalu dalam keadaan suci [dari hadas] maka rezeki akan terus melimpahimu." Jika kesuciannya merupakan kesucian lahiriah maka rezekinya pun berupa rezeki lahiriah. Jika kesuciannya merupakan kesucian batiniah, maka rezekinya pun berupa rezeki batiniah, yaitu makrifat-makrifat Ahlul Bait a.s. 

Kalau seseorang mengikuti hal ini, maka ia akan menemukan banyak sekali peluang untuk dicoba. Dengan berpegang pada perbuatan perbuatan baik dan secara bertahap, ia akan meraih banyak kebaikan dari keberkahan, baik yang bersifat materi maupun yang bersilat spritual. 

Dalam pada itu, seseorang tidak sepantasnya membebani dirinya di luar kemampuannya. Akan tetapi, ia harus memulai dengan perbuatan-perbuatan ringan, mudah, dan terbatas, bukan perbuatan-perbuatan berat dan sulit yang tidak mampu dilakukannya sehingga ia berputus asa dan meninggalkan perbuatan tersebut. Selain itu, tidak sepatutnya pula ia melewati fase-fase dan tingkatan-tingkatan perjalanan spiritual sekaligus. Akan tetapi, ia harus menaiki tingkatan demi tingkatan dan fase demi fase. Banyak riwayat menunjukkan pengertian ini, di antaranya sebagai berikut. 

Pertama, diriwayatkan dari Abu Abdullah a.s. bahwa beliau berkata, "Sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla menempatkan keimanan dalam tu­juh bagian, yaitu pada kebajikan (al-birr), ketulusan (ash-shidq), keyakinan (al-yaqin), keridhaan (ar-ridha), kesetiaan (al-waja'), pengetahuan (al-ilm), dan kesabaran (al-hilm). Kemudian, Allah membagikan hal itu kepada seluruh manusia. Barangsiapa memiliki tujuh bagian ini maka kemungkinan ia menjadi orang sempurna. Allah membagi satu bagian kepada sebagian orang, tiga bagian kepada sebagian lain, dan tiga bagi­an kepada sebagian yang lain lagi hingga mereka sampai pada tujuh bagian." 

Kemudian, beliau berkata, "Janganlah membebankan dua bagian kepada pemilik satu baigan, tiga bagian kepada pemilik dua bagian se­hingga kalian memberatkan mereka." 

Selanjutnya, beliau berkata, "Demikianlah hingga mereka sampai pada tujuh bagian. [Ushul al-Kafi, karya al-Kulayni, jil. 2, bab Darajat al-Iman, hal. 35, hadis no. 1.]" 

Kedua, diriwayatkan dari Abd al-'Aziz al-Qaratisi: Abu Abdullah a.s. berkata kepadaku, "Wahai Abd al-Aziz, keimananadalah sepuluh tingkatan seperti tangga yang dinaiki anak tangga demi anak tangga. Dengan demikian, pemilik dua tingkatan tidak akan berkata kepada pemilik satu tingkatan, 'Engkau bukan apa-apa sebelum sampai ke tingkatan kesepuluh. Janganlah menjatuhkan orang yang ada di bawah­mu sehingga orang yang ada di atasmu menjatuhkanmu. Apabila eng­kau melihat osang yang lebih rendah tingkatannya darimu satu tingkat, maka angkatlah dia ke tingkatmu dengan keramahan dan jangan membebaninya dengan sesuatu di luar kemampuannya sehingga engkau mengecewakannya, karena barangsiapa mengecewakan seorang Mukmin, maka ia harus memulihkannya. [Ibid, bab Akhir min Darajat al-Iman, hal. 37, hadis no. 2 ]" 

Diriwayatkan dari Abu 'Abdullah a.s bahwa beliau berkata, "Seseorang memiliki tetangga seorang Nasrani, lalu ia mengajaknya ke dalam Islam dan menyebutkan hal-hal yang bagus-bagus kepadanya. Orang Nasrani itu pun menyambut ajakannya. Orang itu mendatanginya pada waktu sahur, lalu mengetuk pintu. Orang yang baru masuk Islam itu bertanya, 'Siapa?' Orang itu menjawab, 'Aku, fulan.' 'Apa keperluanmu?' ' Berwudhulah, pakailah pakaianmu, lalu kita pergi shalat!' Orang yang baru masuk Islam itu pun berwudhu, memakai pakaian, dan pergi ber­samanya. Kedua orang itu shalat [sunnah], lalu shalat subuh dan duduk hingga waktu pagi. Kemudian, orang yang baru masuk Islam itu ingin pulang ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Mau ke mana? Waktu siang sangat pendek, dan antara waktumu dan waktu zuhur juga sangat pendek.' Ia pun duduk bersamanya hingga waktu zuhur. Kemudian, orang itu berkata, 'Antara shalat zuhur dan asar wak­tunya sangat pendek. Oleh karena itu, tinggallah hingga waktu shalat asar.' [Setelah shalat asar] orang yang baru masuk Islam itu ingin kembali ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Ini adalah akhir siang dan lebih pendek daripada awalnya. Oleh karena itu, tinggal­lah hingga shalat magrib.' [Setelah shalat magrib] orang itu ingin pulang ke rumahnya. Namun, orang yang mengajaknya berkata, 'Tinggal satu shalat lagi.' Orang itu pun tinggal hingga shalat isya terakhir. Kemudian, kedua orang itu berpisah. Pada waktu sahur hari berikutnya, orang itu datang lagi dan mengetuk pintu. Orang yang baru masuk Islam berta­nya, 'Siapa?' Ia menjawab, 'Aku, fulan.' 'Apa keperluanmu?' 'Berwudhulah, pakailah pakaianmu, lalu kita pergi untuk shalat. Namun, orang yang baru masuk Islam itu menjawab, 'Carilah untuk agama ini orang yang memiliki waktu luang lebih banyak daripada aku. Aku sen­diri adalah orang miskin dan memiliki tanggungan.'" 

Kemudian, Abu 'Abdullah berkata, "Ia memasukkannya ke dalam sesuatu yang juga mengeluarkannya darinya." 

Atau, beliau berkata, "Ia memasukkannya dari seperti ini dan mengeluarkan dari seperti ini pula.[ Ibid, hal. 35, hadis no. 2]"

Al-Faydh al-Kasyam r.a. telah menunjukkan sebagian pembahasan yang berguna ini yang berkaitan dengan pembahasan musyarathah dan yang merupakan maqam pertama dari maqam-maqam murabathah [akan disampaikan pada lain bab}. Sebab, seseorang berada dalam jihad, dan dalam jihad harus penentuan posisi (ribath), walaupun berupa jihad kecil. Apalagi kalau jihad itu berupa jihad besar. Dalam masalah ini, Imam Khomeini r.a. berkata, "Setiap orang yang memiliki keteguhan hati, yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak boleh lengah untuk mengevaluasi diri dan mempersempitnya dalam gerak dan diam dan dalam pikiran dan langkahnya, karena setiap nafas dalam umur merupakan mutiara indah yang tidak ada gantinya. Dengan mutiara itu ia dapat membeli satu pusaka dari pusaka-pusaka yang tidak terbatas dan kekal abadi. [-Mahajjah al-Baydha, karya al-Faydh al-Kasyanl, jil. 8, kitab al-Muraqabah wa al- Muhasabah, al-maqam al-awwal, hal. 151. ]" 

Dengan nafas yang naik ini, seseorang dapat mengatakan satu kata keburukan sehingga dihukum karenanya. Ia dapat mengatakan satu kata kebaikan sehingga diberi pahala karenanya, atau ia juga dapat diam sehingga tidak diberi pahala dan tidak pula disiksa, tetapi ia merugi karena "berlalunya napas-napas ini merupakan barang hilang atau dibe­lanjakannya pada sesuatu yang mendatangkan kebinasaan merupakan kerugian yang sangat besar, yang tidak dapat diterima oleh orang ber­akal. Apabila hamba memasuki waktu subuh dan telah selesai menu­naikan fardu subuh, maka hendaklah ia mengosongkan hatinya sesaat untuk melakukan musyarathah terhadap dirinya, sebagaimana pedagang ketika menyerahkan barang dagangan kepada mitra pekerjanya, Ia meluangkan waktu untuk menentukan syarat-syarat. Ia berkata kepada dirinya, "Aku tidak memiliki barang dagangan selain umur. Apabila ia hilang, maka modal pun hilang dan muncullah keputusasaan untuk berdagang dan mencari untung.[ Ibid ]" 

Ini seperti salju pada hari panas yang meleleh dan berubah menja­di air, serta habis dan, mau atau tidak mau, Anda dapat merugi setiap saat, kecuali bila Anda menjualnya dan mengambil pembayarannya. 

Demikian pula umur yang dapat saja berlalu pada setiap saat. Namun, kalau Anda memperdagangkannya dengan Allah SWT maka Anda tidak akan merugi, walaupun habis. Sebab, pahala Anda terpelihara di sisi Allah, dan pahala yang Anda peroleh melalui perbuatan-perbuatan salih sepanjang umur Anda akan Anda dapati menjadi berlipat ganda di sisi Tuhan yang paling mulia dari segala yang mulia. 

Setelah itu, seseorang harus berkata kepada dirinya, "Inilah hari baru yang pada saat ini Allah SWT menangguhkan ajalku dan menganu­gerahkannya kepadaku. Kalau Dia mewafatkanku, tentu aku berharap agar Dia mengembalikanku ke dunia walaupun satu hari hingga aku dapat mengerjakan perbuatan salih." Oleh karena itu, anggaplah bahwa engkau telah mati dan engkau dikembalikan lagi. Waspadalah, agar ja­ngan menyia-nyiakan hari ini, karena setiap nafas adalah mutiara yang tidak ternilai. 

Ketahuilah, sehari semalam hanya dua puluh empat jam." Di dalam sebuah riwayat disebutkan: Setiap sehari semalam disebarkan dua puluh empat peti yang dijajarkan untuk hamba. Lalu, salah satu peti itu dibuka untuknya. Tiba-tiba, ia melihatnya dipenuhi cahaya dari kebajikan-kebaikannya yang ada pada saat itu sehingga ia mendapatkan kebahagiaan dan kabar gembira akan mendapatkan cahaya-cahaya terse­but yang merupakan wasilah di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Perkasa, yang kalau dibagikan kepada penghuni neraka, tentu mereka tercengang terhadap kebahagiaan tersebut pada saat merasakan pedih­nya siksaan neraka. 

Kemudian, sebuah peti lagi dibuka untuknya. Tiba-tiba, ia melihatnya hitam gelap. Baunya menyebar dan gelapnya menu­tupinya. Itulah saat ketika ia berbuat kemaksiatan kepada Allah sehingga ia mendapatkan ketakutan luar biasa, yang kalau dibagikan kepada penghuni surga, tentu hal itu menyusahkan mereka, padahal mereka berada dalam kenikmatan surga. Dibuka lagi sebuah peti kosong. Tidak ada sesuatu pun di dalamnya, baik yang membahagiakan maupun yang menakutkan. Itulah saat yang ketika itu ia tidur, lalai, dan disibukkan dengan perbuatan-perbuatan mubah di dunia sehingga menyesalinya karena telah melewatkannya begitu saja. Karena telah menyia-nyiakannya, ia memperoleh sesuatu seperti yang diperoleh seseorang yang mam­pu meraih keuntungan yang banyak dan kekuasaan yang besar, tetapi ia mengabaikan dan meremehkannya sehingga sesuatu itu berlalu. Dan karenanya ia ditimpa penyesalan. Demikianlah, ditampakkan kepada­nya peti-peti waktunya sepanjang umurnya.[ Ibid ] 


Oleh karena itu, pada catatan pinggir kilab Mafatih al-Jinan karya Syaikh al-Qumi r.a., Aiula mendapati bahwa Ahlul Bait as. telah menyebutkan amalan tertentu untuk setiap saat dalam dua puluh empat jam sehari. Itulah peti cahaya yang menjadi kenikmatan abadi bagi seseorang pada Hari Kiamat.

Orang  yang mempunyai kesungguhan terhadap akhirat kewajibannya adalah tidak melalaikan jiwa dan selalu mengawasi jiwa kita. Bersungguh-sungguhlah dalam menuju  kehidupan akhirat tersebut. Bersungguh-sungguh  dalam melakukan ketaatan, bersungguh-sungguh dalam mengawasi jiwa kita. Berusaha untuk memperketat gerakan-gerakan kita dan pikiran-pikiran kita.
Ibnul Qoyyim berkata: Bahwa asal dari kebaikan itu dari pikiran, dan asal dari keburukan itu berasal dari pikiran pula.
Ketika seseorang berpikir keburukan, maka akan menimbulkan niat-niat yangg buruk, dan kebalikannya apabila kita berpikir kebaikan, maka akan muncul niat-niat yang baik dan ingin beramal yang baik-baik.

2. Muroqobah...


Bertaqwalah kepada Allah dimanapun engkau berada, dan hendaknya setelah melakukan kejelekan engkau melakukan kebaikan yang dapat menghapusnya. Serta bergaulah dengan orang lain dengan akhlak yang baik” (HR. Ahmad, Tirmidzi)

Muroqobah adalah keyakinan seorang hamba yang meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’alamengawasi gerak-geriknya, mengetahui segala sesuatu tentang dirinya baik yang lahir maupun yang batin. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengatakan, “Muroqobah adalah keyakinan dan pengetahuan yang kuat yang dimiliki oleh seorang hamba bahwa dia selalu berada dalam pengawasan Allah baik dalam hal yang diketahui manusia maupun yang dirahasiakan.

Jika seorang hamba benar-benar meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala Maha Melihat dan Maha Mendengar. Dua nama yang sering Allah gabungkan di dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan satu makna yang lebih dalam. Yaitu Allah subhanahu wa ta’ala senantiasa mengetahui apapun yang ada pada seorang hamba. Baik itu gerak-geriknya, ucapannya, tindakannya dan segala sesuatu yang ada di dalam hatinya. Allah subhanahu wa ta’ala melihat, mendengar dan mengetahui semuanya. Andaikata seorang hamba memiliki keyakinan seperti ini, niscaya keyakinan itu akan menjelma menjadi sebuah perasaan selalu berada dalam pengawasan Allah subhanahu wa ta’ala dimanapun dan kapanpun dia berada. Perasaan inilah yang pada gilirannya akan menghantarkan seorang hamba untuk menghadirkan amal-amal yang terbaik. Mempersembahkan sesuatu yang terbaik untuk Allah subhanahu wa ta’ala baik dalam urusan-urusan agamanya maupun urusan-urusan dunianya.

Salah satu hikmah dari penciptaan manusia adalah Allah ingin menguji siapakan diantara manusia ini yang paling baik amalnya. Allah subhanahu wa ta’ala mengatakan dalam surat Al-Mulk ayat ke-2:
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,” (QS. Al-Mulk [67]: 2)


3. Muhasabah...


Muhasabah perlu dilakukan bagi siapapun, namun hal ini jarang dilakukan dengan alasan lupa dan karena kotornya hati. Ketika hati bersih, tentu akan introspeksi diri atas apa yang telah dilakukannya selama ini. Bukan sekedar...

Muhasabah adalah satu kata yang berasal dari bahasa Arab, kata ini sering diucapkan bagi seseorang yang sedang jernih hati ingin memikirkan apa saja yang pernah dilakukannya tadi, hari ini, minggu ini, bulan ini, atau selama ini.

Arti Kata MUHASABAH

Muhasabah = Introspeksi
Muhasabah = Dalam agama islam, Muhasabah sering kali dikaitkan antara kebaikan dan keburukan (evaluasi) yang pernah dilakukan di masa lampau dan berniat untuk melakukan yang lebih baik lagi di masa mendatang untuk mendapatkan ridho Allah.

Muhasabah merupakan introspeksi diri sendiri setelah ia beramal, tentang kesalahan-kesalahan kita, dosa-dosa apa saja yang telah kita perbuat. Sedangkan muraqabah adalah merasa jiwa selalu diawasi oleh Allah. Ketika seorang hamba merasa diawasi oleh Allah, maka orang tersebut akan selalu bertakwa dimanapun ia berada.

Allah Ta’ala berfirman:

(Ingatlah) pada hari (ketika) setiap jiwa mendapatkan (balasan) atas kebajikan yang telah dikerjakan dihadapkan kepadanya, (begitu juga balasan) atas kejahatan yang telah dia kerjakan. Dia berharap sekiranya ada jarak yang jauh antara dia dengan (hari) itu. Dan Allah memperingatkan kamu akan diri (siksa)-Nya.” (QS. Ali-Imran: 30)

Dan Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tidak seorang pun dirugikan walau sedikit; sekalipun hanya seberat biji sawi, pasti Kami mendatangkannya (apahal). Dan cukuplah Kami yang membuat perhitungan. (QS. Al-Anbiyaa’: 47)

“Dan diletakkan kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terahdap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, “Betapa celaka kami, kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya”, dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun.”  (QS. Al-Kahfi: 49)

“Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan berkelompok-kelompok, untuk diperlihatkan kepada mereka (balasan) semua perbuatannya. Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.  (QS. Az-Zilzaal: 6-8)
Ayat-ayat ini menunjukkan masalah yang sangat penting yaitu berhubungan dengan hisab di hari kiamat kelak.
Orang yang menggunakan akalnya dia akan berpikir bahwa tidak ada yang bisa menyelamatkan dia di hari kiamat kelak kecuali dengan melakukan muhasabah diri sendiri dulu di dunia ini.

Sebagaimana perkataan Umar bin Khattab radhiyallaahu ‘anhu:
Ketika kita mengetahui kesalahan-kesalahan kita, hisablah diri kita dan segera bertaubatlah kepada Allah selagi masih di dunia.  Siapa yang menghisab dirinya sendiri mengingat kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa di dunia, maka kelak dia akan diringankan hisabnya di hari kiamat, dan barangsiapa yang lalai menghisab dirinya di dunia, barangkali ia akan menyesal yang berkepanjangan di hari kiamat kelak. Orang yang menghisab dirinya maka ia akan sibuk dengan dosa-dosa dirinya sendiri. Maka dari itu, orang yang berakal ia tidak memikirkan dosa-dosa orang lain. Setiap jiwa akan ditanya dosanya sendiri masing-masing. Semenjak kita bangun tidur hingga kita akan tidur kembali. Dosa-dosa apa saja yang kita perbuat, kemudian segera beristighfar dan bertaubat kepada Allah. Hisablah sebelum ajal menjemput kita dan penyesalan akan datang jika kita tidak menghisab apa saja amalan yang telah kita perbuat.
Ketika mereka mengetahui bahwasanya tidak ada yang meyelamatkan dia di hari kiamat  kecuali ketaatan. Dan Allah ta’ala memerintahkan mereka untuk bersabar di atas ketaatan dan melakukan murabathah. Sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS. Ali-Imran: 200)
Demikian pula jiwapun harus dijaga tapal batasnya, karena setan akan selalu menjaga di tapal batas tersebut. Oleh karena itu, kita harus bersabar di dalam ketaatan. Menyabarkan diri kita untuk tetap berada di atas ketaatan dan menyabarkan diri ketika meninggalkan kemaksiatan sehingga itulah yang disebut dengan murabathah.
MUHASABAH secara sedehana bisa dipahami sama dengan intropeksi, yaitu seseorang bertanya kepada dirinya sendiri tentang perbuatan yang dia lakukan agar jiwa menjadi tenang, dan memastikan secara gamblang apakah perbuatan yang dilakukan dalam kehidupannya sesuai dengan perintah-perintah Allah Ta’ala.
Demikianlah yang dilakukan oleh para sahabat Nabi. Mereka tidak pernah menutup malam harinya kecuali telah melakukan muhasabah. Bahkan seorang Abu Bakar mampu menghisab dirinya sendiri sedemikian rupa.
Menjelang akhir wafatnya, Abu Bakar memanggil putrinya Aisyah radhiyallahu anha. Abu Bakar berkata, “Sesungguhnya semenjak kita menangani urusan kaum Muslimin, tidak pernah makan (dari dinar dan dirham mereka). Yang kita makan adalah makanan yang keras dan sudah rusak.” (HR. Ahmad).
Demikianlah Abu Bakar menghisab dirinya sendiri. Bahkan sahabat utama Nabi itu tidak memperkenankan Aisyah mengambil apa yang dimiliki Abu Bakar. Semuanya diminta untuk diserahkan kepada Umar bin Khaththab. Tentu, langkah Abu Bakar ini sagat berat. Tetapi tatkala muhasabah telah menjadi gaya hidup maka tidak ada yang lebih penting selain menyucikan diri demi ridha Ilahi.
Abu Bakar dan sahabat Nabi yang lainnya benar-benar serius menghisab dirinya. Hal tersebut tidak lain karena hadits Nabi yang berbunyi; “Kedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sehingga ditanya tentang empat perkara: tentang umurnya, untuk apa dihabiskannya, tentang masa mudanya, digunakan untuk apa, tentang hartanya, dari mana diperoleh dan kemana dihabiskan, dan tentang ilmunya, apa yang dilakukan dengan ilmunya itu.” (HR. Tirmidzi).
Jadi, sebagai apa pun dan di masa apa pun seorang Muslim wajib melakukan muhasabah.
Sebelum hari perhitungan benar-benar kita hadapi.  Pantas jika Umar bin Khaththab sering mengingatkan umat Islam untuk selalu melakukan muhasabah diri. “Hasibu qobla an tuhasabu,” artinya hitunglah diri kalian sebelum datang hari perhitungan.
Dalam pandangan Hasan Al-Bashri muhasabah akan meringankan hisab di hari akhir. Sebab Allah tidak pernah melewatkan satu perbuatan pun melainkan telah tercatat di sisi-Nya.
  
“Allah mengumpulkan (mencatat) amal perbuatan itu, padahal mereka telah melupakannya.” (QS. Al-Mujadilah: 6).
Jadi tidak sepatutnya jika seorang Muslim melewati hari-harinya tanpa melakukan muhasabah diri. Karena hanya dengan muhasabah itulah hati kita terjaga dari kelalaian, mulut terhindar dari mengucapkan keburukan dan perbuatan kita akan terpelihara dari segala maksiat dan kemunkaran.
Waktu Muhasabah
Dengan demikian muhasabah berarti perlu kita lakukan setiap hari. Mengenai waktunya, Ibnu Qayyim berkata, “Muhasabah itu dilakukan sebelum melakukan perbuatan dan setelah melakukan perbuatan.” Demikian beliau terangkan dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin.
Muhasabah sebelum melakukan perbuatan seorang Muslim berhenti pada awal keinginan dan kehendaknya serta tidak bersegera melakukan perbuatan sampai jelas statusnya. Setidaknya ada tiga pertanyaan yang harus dijawab.
Pertama, apakah perbuatan yang diiginkan mampu dilakukan atau tidak. Kedua, apakah perbuatan itu sesuai syariat. Ketiga, apakah perbuatan itu akan dilakukan ikhlas karena Allah.
Sementara itu, untuk muhasabah setelah melakukan perbuatan dapat dicek melalui apakah perbuatannya sesuai syariat dan apakah dilakukan ikhlas karena Allah. Meurut Ibnu Qayyim muhasabah setelah melakukan perbuatan ini ada tiga macam.
Pertama, muhasabah atas ketaatan yang diabaikan. Kedua, muhasabah atas setiap perbuatan yang apabila ditinggalkan lebih baik daripada dilakukan. Ketiga, muhasabah atas perbuatan yang mubah yang tidak dilakukannya.
Lebih jauh Ibnu Qudamah berkata, “Seyogyanya bagi seorang Muslim itu menyisihkan waktunya pada pagi hari dan sore hari untuk muhasabah diri. Dan ia menghitungnya sebagaimana para pedagang dengan rekan-rekannya menghitung keuntungan dan kerugian transaksi mereka setiap akhir penjualan.”
Keuntungan Melakukan Muhasabah
Dengan gemar,rutin dan terus-menerus melakukan Muhasabah diri maka kita akan memperoleh banyak manfaat atau keuntungan.
Pertama, mendorong diri sendiri semakin antusias dan konsisten melakukan amal-amal sholeh, sehinnga lahir kesadaran dan harapan akan kepada Allah hingga lahir kekhusyuk’an dalam setiap ibadah.
“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (QS. Al-Anbiya: 90).
Kedua, tidak akan pernah lupa apalagi memandang salah karunia dan nikmat-nikat Allah yang telah dianugerahkan. Dengan kata lain akan memantik rasa syukur yang mendalam atas segala karunia Allah Ta’ala.
Ketiga, akan terhindar dari melakukan ghibah, fitnah dan namimah yang akan berakibat pada hangusnya pahala dari amalan sholeh yang disusun selama hidup. Sebab, orang yang bicaranya buruk adalah orang yang pasti tidak pernah me-muhasabah dirinya sendiri, sehingga berlaku kata pepatah: “Semut di seberang jauh kelihatan sedangkan gajah di depan mata tidak terlihat.”
Dengan demikian merugilah Muslim yang menghabiskan umurnya tanpa muhasabah, sehingga keras hatinya dan buruk perangainya. Padahal, hanya dengan muhasabah semata, iman seorang Muslim akan terpelihara dan takwa menjadi nyata. Mumpung belum berpisah jauh dengan Ramadhan, yuk kita bangun budaya muhasabah diri sendiri.*/Imam Nawawi

Kemudian, kenapa kita harus melakukan introspeksi diri ? Jawabannya karena sejatinya jiwa manusia senantiasa memperturut hawa nafsu dan tidak dapat dipungkiri mengarah kepada keburukan. Muhasabah akan memunculkan rasa takut kepada Allah Swt sehingga dapat menjauhkan kita dari perbuatan maksiat yang disebabkan oleh hawa nafsu tersebut. Maka dari itu sungguh sangat merugi seseorang yang mengabaikan muhasabah melainkan menuruti hawa nafsunya.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Orang yang pandai adalah orang yang mengintrospeksi dirinya dan beramal untuk setelah kematian, sedang orang yang lemah adalah orang yang jiwanya selalu tunduk pada nafsunya dan mengharap kepada Allah dengan berbagai angan-angan." (H.R Ahmad dan Tirmidzi).
Sudah menjadi keharusan bagi kita untuk tidak lupa mengintrospeksi diri, menyempitkan ruang gerak nafsu dan menahan gejolaknya. Sehingga setiap hembusan nafas diibaratkan sesuatu yang bernilai tinggi dan dapat ditukar dengan kenikmatan yang tidak pernah sirna sepanjang masa. Karena dengan menyia-nyiakan nafas atau menjadikannya sebagai sesuatu yang mendatangkan keburukan adalah kerugian besar yang pada akhirnya hakikat kerugian tersebut baru benar-benar tampak nanti di hari kiamat kelak.
Seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Umar bin Khaththab berkata "Hisablah dirimu sebelum dihisab ! Timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang ! Sesungguhnya berintrospeksi bagi kalian pada hari ini lebih ringan daripada hisab di kemudian hari. Begitu juga dengan hari 'aradl (penampakan amal) yang agung".
Muhasabah terbagi menjadi dua jenis yaitu pertama muhasabah sebelum melakukan pekerjaan dan kedua setelah melaksanakan pekerjaan. Muhasabah yang pertama akan menjadikan pekerjaaan yang akan dilakukan bernilai positif di dunia maupun akhirat dan muhasabah yang kedua akan memudahkan untuk menutupi kekurangan pekerjaan yang telah dilaksanakan sehingga menjadikan pekerjaan selanjutnya lebih baik.
Kemudian sekarang kita kenali metode muhasabah menurut Ibnul Qayyim rahimahullah yang mengatakan bahwa "Muhasabah dapat dilakukan dengan menimbang antara kenikmatan yang Allah karuniakan dan keburukan yang telah dilakukan". Maksudnya kita dapat melihat berbagai anugerah yang telah Allah berikan kepada kita dan juga melihat apa yang telah diperbuat. Apakah kita telah bersyukur kepada-Nya atau justru mengingkari nikmat-nikmat tersebut dengan bermaksiat kepada-Nya.

A. MU'AQOBAH
Mu'aqobah yaitu senantiasa memberikan sanksi (hukuman) terhadap diri sendiri apabila melakukan kesalahan atau lalai dari taat dan ibadah kepada Allah. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khottob tatkala beliau mengunjungi salah satu kebunnya yang luas, kemudian ketika selesai mengunjungi kebun, beliau menyaksikan orang-orang telah  shalat asar berjama'ah. Beluai merasa sangat rugi ketinggalan shalat asar berjama'ah, maka sebagai hukumannya beliau menginfakan kebun yang beilau kunjungi untuk kepenetingan kaum muslimin, karena kebunnya telah melalaikannya dari dzikir kepada Allah.
Kaum muslimin, bila menyaksikan lalai dari amal ketaatan atau terjerumus dalam kemaksiatan juga juga harus segera menggantinya kepada amal-amal lain yang sepadan dan bersegera kepada magfirah (Ampunan Allah) (3: 133-135).
Bagi yang terbiasa untuk mengoreksi diri kemudian menjatuhkan sanksi terhadap dirinya apabila berbuat salah, maka tumbuh kedisiplinan yang tinggi untuk menjalankan perintah Allah dan senantiasa menjauhi larangan-Nya.
Mu'aqobah ini dapat diterapkan misalnya, bila lupa shalat berjama'ah di niatkan berinfaq Rp. 100.- dikumpulkan disetiap lupa bila sudah terkumpul banyak baru kemudian dimasukan kotak infaq masjid. Atau kalau terlena dalam kemaksiatan segera menggantinya dengan amal shalih, agar amal shalih tersebut sebagai penghapus dosa dan kesalahannya.
Jika kita terbiasa muhasabah, menghitung dan mengevaluasi amal diri, maka melanjutkan tradisi dengan mu'aqobah adalah penting.
Muhasabah mengajari kita merenungi amal. Belajar menghitung dan menimbangnya. Agar tak salah langkah lagi kedepannya.

Muhasabah mengajari kita berbenah diri. Agar luput di hati tak lagi terulang lagi.

Muhasabah menajamkan jiwa dengan renungan-renungan harap atas ampunan sang Maha Pengampun.

Maka, mu'aqobah tak sekedar itu.

Mu'aqobah adalah amal shalih yang menyusuli amal salah, agar jiwa kian terlecut untuk terus berketaatan.

Suatu hari jelang panen kebun, Umar bin Khattab mengunjungi kebunnya di Madinah.

Kurma yg telah ranum. Tandannya menua. Rantingnya berkerut.

Anggur yg matang. Daunnya bergururan. Menarik untuk siap petik.

Maka dalam suasana bahagia, duduk diantara teduhnya pohon kurma dan matangnya buah anggur, Umar bin Khattab menikmati sore harinya.

Hingga ketika Umar beranjak ke masjid untuk menunaikan Sholat 'Ashar, ternyata jamaah telah bubar.

Betapa menyesalnya Al Faruq. Gegara bahagianya menikmati bayangan kebunnya yg hendak panen, dia kehilangan jamaah sholat yg selama ini menjadi kekuatan imannya.

Beliau menghadap Rasulullah.

"Ya Rasulullah, saya akan sedekahkan seluruh kebunku untuk jalan Allah. Ambil dan pergunakanlah"

"Bukahkah engkau sangat mencintai kebunmu yaa Umar?"

"Sebab ia telah melalaikanku dari jamaah sholat ashar", jelas Umar.

"Pertahankanlah kebunmu itu, dan sedekahkanlah hasilnya saja, wahai Umar", teduh Rasulullah.

"Saya dengar dan saya taat, Yaa Rasulullah",

Maka, rangkaian kisah ini adalah bentuk mu'aqobah.

Mu'aqobah adalah penebusan dunia atas kesalahan kita, agar di akhirat berkuranglah sesal menyiksa.

Wallahualam
MU’AQOBAH (Pemberian sanksi)
Landasan Mu’aqobah adalah firman Alloh Azza Wa Jalla:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,wahai orang-orang yang berakal,supaya kamu bertaqwa (Al baqoroh :178)
Sanksi yang kita maksudkan sebagaimana diisyaratkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mu’min menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya.Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya.Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah sebagaimana memberikan sanksi kepada atas istri dan anak-anaknya..Hal ini merupajkan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar,disamping merupakan dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.
Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah tidak boleh dengan sanksi yang haram,seperti membakar salah satu anggota tubuh,mandi ditempat yang terbuka pada musim dingin ,meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya..
Sanksi-sanksi ini dan yang sejenisnya haram hukumnya sebab termasuk dalam larangan yang tercantum dalam al qur’an:
“..Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan..” (Al Baqoroh:195)
“..dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Alloh adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An Nisa:29)
B. MUJAHADAH
Mujahadah yaitu selalu bersungguh-sungguh dalam setiap amal sekecil apapun. Karen kesuksesan besar itu berawal dari yang kecil-kecil, manakala yang kecil saja tidak mampu kita lakukan bagaimana kita akan meraih yang besar.
Allah SWT berfirman yang artinya "dan orang-orang yang berjihad di jalan kami, sungguh benar-benar kami akan tunjukan jalan-jalan kami." (Al Ankabut: 69)

Definisi mujahadah menurut arti bahasa, syar’i, dan istilah ahli hakikat sebagaimana dimuat dalam kitab Jami’ul Ushul Fil-Auliya, hal 221 : “Mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama).
Sebagian Ulama mengatakan:”Mujahadah adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan; “Mujahadah adalah menahan nafsu dari kesenangannya” Mujahadah adalah sarana dari hidayah rohani kepada Allah dan ridhaNya , sedangkan hidayah merupakan permulaan dari takwa (Muhammad 17), jadi dalam mujahadah terkandung unsur melawan hawa nafsu secara terus menerus. Pengertian mujahadah secara umum adalah : berjuang, bersungguh-sungguh, berpegang melawan musuh.
Sementara pengertian Riyadhoh menurut bahasa adalah olahraga, latihan. Sedangkan menurut istilah Riyadhoh adalah Latihan Penyempurnaan diri secara terus menerus melalui zikir dan pendekatan diri yang datangnya dari Allah SWT ditujukan kepada Hamba-Nya.
Dasar Mujahadah Dan Riyadhoh:
  1. Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. kamu mendapat keberuntungan.(Al Maidah)
69. Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Al Ankabut)
78. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik- baik Penolong.(Al Hajj)
KESIMPULAN – Arti mujahadah menurut bahasa adalah perang, menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Alloh, dan menurut istilah ahli hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’ dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). –
Riyadhoh menurut bahasa adalah olahraga, latihan. Sedangkan menurut istilah Riyadhoh adalah Latihan Penyempurnaan diri secara terus menerus melalui zikir dan pendekatan diri yang datangnya dari Allah SWT ditujukan kepada Hamba-Nya.
Untuk Membangun sebab-sebab agar hati seorang hamba menjadi khusu’, satu-satunya cara ialah, hendaklah seorang hamba melaksanakan mujahadah di jalan Allah Ta’ala. Karena dengan mujahadah itu supaya Allah Ta’ala memberikan futuh (terbukanya pintu hati)

Mujahadah merupakan sebuah istilah yang terbentuk dari asal kata jihad,artinya berjuang dengan sungguh-sungguh menurut syari'at Islam. Istilah lain yang juga berasal dari kata Jihad, yakni Mujahidin. Mujahidin adalah istilah bagi pejuang (Muslim) yang turut dalam suatu peperangan atau terlibat dalam suatu pergolakan. Dasar dari arti kata jihad adalah "berjuang" atau "berusaha dengan keras" atau "perang", namun "perang" yang dimaksud sebenarnya bukanlah harus berarti "perang" dalam makna "fisik". 

Jika sekarang jihad lebih sering diartikan sebagai "perjuangan untuk agama", itu tidak harus berarti perjuangan fisik. jika meng-arti-kan jihad hanya sebagai peperangan fisik dan extern untuk membela agama, maka hal ini akan sangat berbahaya, sebab akan mudah dimanfaatkan dan rentan terhadap fitnah. Jika meng-artikan "Jihad" sebagai "perjuangan membela agama", maka lebih tepat bahwa ber-Jihad adalah: "perjuangan menegakkan syariat Islam." 


Firman Allah swt. dalam Al-Qur'an, yang artinya : 
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik". (QS. Al-Ankabut : 69) 

Secara harfiah, kata jihad berarti letih, sukar dan sungguh-sungguh. Sedangkan secara etimologis, jihad berasal dari akar kata bahasa arab (Jahada-Yujahidu-Jihaadan), yang berarti mengerahkan segenap potensi dengan ucapan dan tindakan. Diantara pecahan kata dari kata jihad adalah mujahadah (optimalisasi amal halih), jahdun (kerja keras) dan juhdun (usaha). Dengan demikian, jihadyang dimaksud adalah kesungguhan hati untuk mengerahkan segala kekuatan dan kemampuan untuk menerapkan nilai-nilai dan ajaran Islam di dalam kehidupan. Dalam konteks tersebut, beribadah yang dijalankan dengan tulus dan penuh kesungguhan, serta berinteraksi dengan sesama manusia yang dijalani dengan penuh kejujuran dan keikhlasan merupakan perilaku “jihad”.


Firman Allah dalam Al-Qur'an, yang artinya : 
“Dan berjihadlah (bersungguh-sungguhlah) kamu menuju pada Alloh dengan sebenar-benarnya jihad,... (QS. Al-Hajji :78).

Pengertian mujahadah menurut arti bahasa syar’i, dan istilah ahli hakikat sebagaimana dimuat dalam kitab Jami’ul Ushul Fil-Auliya hal. 221, yang telah dikutip oleh Wahidiyah, ialah sebagai berikut: “Arti mujahadah menurut bahasa adalah "perang", menurut aturan syara’ adalah perang melawan musuh-musuh Allah, dan menurut istilah ahli hakikat adalah memerangi nafsu amarah bis-suu’,dan memberi beban kepadanya untuk melakukan sesuatu yang berat baginya yang sesuai dengan aturan syara’ (agama). Sebagian Ulama mengatakan: "Mujahadah adalah tidak menuruti kehendak nafsu”, dan ada lagi yang mengatakan: “Mujahadah adalah menahan nafsu dari kesenangannya”. 

Menurut Wahidiyah yang dimaksud "Mujahadah" adalah bersungguh-sungguh memerangi dan menundukkan hawa nafsu (nafsu ammarah bis-suu') untuk diarahkan kepada kesadaran "FAFIRRUU ILALLOOH WAROSUULIHI".

Hadist Nabi SAW. : 

"Orang yang berjihad (bermujahadah) adalah orang yang memerangi nafsunya dalam (pendekatan dirinya kepada) Allah", (HR. At-Tirmidzi, At-Thabrani, Ibnu Hibban dan Al-Hakim, dari Fadlolah bin 'Ubaid).


Dengan demikian maka kita telah maklum, bahwa semua aktivitas ruh terhadap hawa nafsu inilah yang kemudian di namakan mujahadah, dengan kata lain ruh harus selalu bermujahadah ke atas hawa nafsu supaya nafsu tidak mengganggu atau dapat mempengaruhi anggota badan dengan perbuatan-perbuatan yang di larang oleh syari’at. Selain itu, karena supaya Qalbu tidak di usik dengan sifat-sifat tercela. 

Pada waktu yang sama, ruh akan berusaha meningkatkan kualitasnya sendiri agar ia selalu dihiasi dengan sifat-sifat yang mulia yang akan terpancar dan kembali memberikan pengaruh kepada Qalbu, Jasad dan anggota badan. Tingkatan (Maqam) yang ke-5 dalam konsep tasawuf adalah Mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh. Secara istilah, maka mujahadah dapat diartikan sebagai satu bentuk kesungguhan untuk menjalankan perintah Allah dengan memenuhi segala kewajiban dan menjauhi atas larangan-Nya; secara lahir dan bathin dengan wujud nyata berupaya melawan (menundukkan) hawa nafsu.

Hadits Nabi SAW. :
“Kita baru kembali dari perang kecil akan menghadapi perang besar. Para Shahabat bertanya : YA Rosulalloh gerangan apakah perang besar itu ? Rosululloh menjawab: “Perang melawan Nafsu”. 

Dari keseluruhan makna yang dikandung oleh kata jihad memang sesuatu yang tidak gampang melaksanakannya, bahkan melelahkan. Oleh karena itu maka dalam melaksanakannya harus dengan penuh kesungguhan serta kemampuan. Selain mujahadah, kata jihad juga merupakan asal kata dari terbentuknya kataijtihad, yang oleh ulama fiqh diartikan sebagai pengerahan kemampuan dengan sungguh-sungguh untuk menggali dan memahami makna yang dikandung olehAl-Qur'an dan Sunah.



Untuk tahapan selanjutnya dalam berriyadhoh selain taubat, adalah mujahadah.. itu artinya ia berusaha keras dan bersungguh-sungguh dalam perjuangan meniti jalan Allah. Meskipun seesorang telah melewati jalan taubat, tetapi jika tidak bermujadah, maka tak mungkin mampu meniti jalan menuju Allah dengan benar. Maka, mujahadah merupakan  syarat yang tidak boleh diabaikan.


Mujahadah merupakan amalan baik lahir maupun batin. Tujuannya untuk mencapai karunia Allah. Karunia itu bisa berupamahabbatullah, mukasyafah, musyahadah, dan ma’rifah. Jka seseorang telah mencapai maqam ini, maka daya batinnya dapat diberdayakan secara maksimal.  Sementara itu, Allah swt berfirman agar kita harus bersungguh-sungguh dalam meraih karunia yang empat tadi. Hal tersebut tertuang dalam Qs. Al-Hajj : 78

Maksud bersungguh-sungguh dalam ayat tersebut yakni, bersungguh-sungguh dalam perjuangan memelihara diri dari berbuat dosa. Bersungguh-sungguh untuk berpindah dari kebiasaan buruk ke kebiasaan baik, dari baik menjadi lebih baik lagi. Dan bersungguh-sungguh melawan hawa nafsu.

Seseorang yang ingin menjerniihkan hatinya demi mencapai ridha Allah, tentunya harus bertekad bulat untuk berjuang melawan hawa nafsu dan melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Dan hendaklah ia dalam setiap sikap dan prilakunya haruslah benar-benar dihiasi akhlaq yang mulia, menguntungkan bagi dirinya dan juga orang lain. Maka, perlahan-lahan jiwa akan membentuk suatu kearifan. Sehingga muncullah sinar musyahadah dalam batinnya.

Sementara itu, Imam Abu Ali Ad-Daqaq pernah berkata mengenai mujahadah : “Baransiapa yang menghiasi dzahirnya dengan mujahada, maka Allah akan menganugrahi batinnya dengan musyahadah. Dan seseorang yang dalam perjalanan hidupnya tidak pernah merasakan mujahadah, maka mustahil mata hatinya akan mendapatkan musyahadah.” Pada kesempatan lain, beliau pernah berkata kembali “Seseorang yang pada awalnya tidak pernah berdiri, maka pada akhirnya dia tidak akan bisa duduk.”

 Selain itu, para ulama salaf sering berpesan agar seseorang bersungguh-sungguh dalam menempuh hidup dan menjalani kebenaran. Diantaranya adalah Imam As-sirri, beliau berkata  : “Bersungguh-sungguhlah kalian sebelum sampai pada batas akhir kemampuan yang membuat kalian lemah, dan kurang sebagaimana kelemahan dan kekurangan fisik kalian.”

Sedangkan sebagian ulama sufi, seperti Al-Qazaz memberikanteori tentang mujahadah dalam menempuh jalan menuju kebenaran. Ia menyederhanakan menjadi tiga hal, yaitu (1) bersungguh-sungguh menahan lapar, (2) bersungguh-sungguh menjaga tidur, (3) bersungguh-sungguh menjaga lisan. Dan Sesungguhnya, mujahadah itu dibangun diatas 3 hal. (1) Hendaklah engkau tidak makan kecuali benar-benar lapar. (2) Hendaklah engkau tidak tidur, kecuali benar-benar mengantuk, (3) dan hendaklah engkau tidak bicara kecuali benar-benar terdesak.

Imam Ghazali memberi penjelasan terhadap 3 ucapan tersebut : (1) Bersungguh-sungguh menahan lapar dimaksudkan agar tidak terlalu memanjakan perut. Hal ini merupakan tradisi kaum sufi untuk membatasi hawa nafsunya terhadap makanan. Sebab menurut mereka, seseorang yang memanjakan perutnya akan tertutup hatinya dari jalan kebenaran. Mata hatinya akan tumpul, dan pikirannya menjadi cemerlang.
Begitu pula menahan tidur, dimaksudkan agar seseorang dapat memaksimalkan umurnya untuk kegiatan-kegiatan postif yang menguntungkan bagi dirinya. Kegiatan positif itu jika siang hari ia akan tekun dalam bermuamalah, sedangkan dimalam hari ia akan tekun dalam ruku dan sujud.
Dan adapun jangan berbicara kecuali terdesak. Maksudnya, janganlah mengumbar kata-kata. Karena lidah itu paling mudah berbuat dosa. Dari lidah seseorang dengan mudah terpeleset, misalnya menghasut, memarahi, dan menertawakan orang lain. karena hal tersebut akan menyakiti hati orang lain, dan menjadi dosa bagi kita.

Sementara itu, Ibrahim bin Adham berkata : Seseorang tidak akan mendapatkan atau mampu memiliki kebersihan mata hati, jika tidak mampu mengatasi enam rintangan ini. 
1. Menutup pintu nikmat dan membuka pintu kesulitan
2. Menutup pintu kemulian lalu membuka pintu kehinaan
3. Menutup pintu istirahat lalu membuka pintu perjuangan
4. Menutup pintu tidur lalu membuka pintu keterjagaan
5. Menutup pintu kaya lalu membuka pintu kefakiran
6. Dan menutup pintu angan-angan lalu membuka pintu untuk menghadapi kematian.

Menutup pintu nikmat maksudnya adalah jika seseorang ingin mempertajam mata batinnya demi merasakan kelezatan bersama Allah, janganlahh ia memburu kesenangan-kesenangan duniawi belaka. Jangan pula memanjakan diri dengan kenikmatan-kenikmatan dunia.  Karena kenikmatan itu dapat menumpul mata hati dan mencedrai pikiran. begitupun dengan ke lima hal selanjutnya.

Itulah Pengertian Mujahadah Dalam Tasawuf beserta ucapan para ulama sufi. Terima kasih, semoga bermanfaat ! 


Semoga bermanfaat


CARA MELAKUKAN MUJAHADAH




Di jaman yang serba materialistis seperti sekarang ini, dimana manusia lebih mementingkan persoalan duniawi, lebih mengejar kemewahan dunia maka persoalan rohani menjadi terabaikan sehingga terjadi ketidak-seimbangan dalam diri manusia, batin manusia menjadi gersang. Persoalan-persoalan hidup yang dihadapi manusia apabila tidak dapat terselesaikan sering menimbulkan frustasi, putus asa bahkan sampai bunuh diri. 



Di kota-kota besar banyak bermunculan kelompok-kelompok dzikir, yang semakin lama peminat dan jamaahnya semakin berkembang. Hal ini menjadi pilihan bagi orang-orang yang hidup di kota-kota besar, yang setiap hari dihadapkan pada persoalan-persoalan hidup yang menimbulkan kekacauan pikiran dan batin, sering menjadikan gelisah, sehingga sebagai penyaluran untuk mendapatkan ketenangan batin, maka kelompok-kelompok dzikir menjadi pilihan mereka. 


Mujahadah adalah kegiatan membaca doa dan wirid bagi seseorang yang sedang menghadapi persoalan hidup, yang menginginkan penyelesaian dan jalan keluar dari masalah-masalah yang sedang mereka hadapi, yang menginginkan ketenangan batin, yang menginginkan terkabulnya suatu keinginan, yang menginginkan kesembuhan. 

Sebelum melakukan kegiatan Mujahadah harus diperhatikan beberapa hal, 
Sesuai petunjuk Rosulullah SAW. Tata cara berdoa yang benar agar doa kita terkabul antara lain : 

1. dilakukan secara terus menerus dalam memohon kepada Allah SWT
2. menghadap kiblat
3. secara tawadhu dan khusyu
4. cinta dan takut kepada Allah SWT
5. bersungguh-sungguh dalam berdoa dan yakin terkabul doanya
6. bertaubat atas perbuatannya
7. mengembalikan hak-hak orang lain
8. konsentrasi menghadap kepada Allah SWT
9. dalam kondisi punya wudlu

Selanjutnya dipersiapkan air putih dalam botol atau wadah lainnya, selesai berdoa meniup air di botol tersebut, yang nanti selesai kegiatan Mujahadah, air bisa dipakai untuk diminum, di masukan sumur, dimasukan bak mandi dan sebagainya sesuai kebutuhan . Hal ini untuk memanfaatkan air yang sudah didoakan agar dimanfaatkan sesuai keinginan.( Baca artikel : Cara bikin wajah bersinar dan berseri-seri )

Sebelum melakukan Mujahadah lebih dahulu dilakukan sholat sunah 2 rokaat.
adapun Doa dan wirid yang dibaca dalam Mujahadah antara lain :
Bismillahirohmanirrohim
1. Astaghfirullahal adhiem alladzi laa ilaha illa huwal hayyul qoyyumu wa atubu ilaih (dibaca sebanyak 100 kali)
2. robbana dholamna anfusana wain lam taghfirlana wa tarhamna lanakunanna minal khosirin (dibaca sebanyak 41 kali)
3. allahumma anta salam wa minka salam wa ilaika ya’udus salam fa hayyina robbana bis salam wa adhilnal jannata daros salam tabarokta robana wa ta’alaita ya dzal jalali wal ikrom ( dibaca sebanyak 41 kali )
4. allahu robbi laa syarika lah ( dibaca sebanyak 41 kali )
5. assholatu was salamu ‘alaika yaa rosulullah dhoqot khilati adrikni syari’an ( dibaca sebanyak 70 kali )
6. laisa laha min duni llahi kaasyifah ( dibaca sebanyak 70 kali )
7. wa nunazzilu minal qur’ani maa huwa syifa’un wa rohmatun lilmu’minin ( dibaca sebanyak 17 kali )
8. wa syifa’un limaa fis shudur ( dibaca sebanyak 17 kali )
9. fihi syifa’un lin naasi ( dibaca sebanyak 17 kali )
10. wa idza maridhtu fa huwa yasyfin ( dibaca sebanyak 17 kali )
11. qul huwa lilladzina amanu hudan wa syifa ( dibaca sebanyak 17 kali )
12. wa yasyfi shuduro qaumin mu’minin ( dibaca sebanyak 17 kali )
13. Allah ( dibaca sebanyak 66 kali )
14. membaca surat al fatehah sebanyak 7 kali
15. membaca surat al insyiroh ( alam nashroh ) sebanyak 7 kali
16. membaca surat al qodar ( inna anzalnahu fi lailatil qodr ) sebanyak 7 kali
17. membaca surat al ikhlas sebanyak 7 kali
18. membaca surat al alaq sebanyak 7 kali
19. membaca surat an nas sebanyak 7 kali

Di akhiri dengan membaca doa lalu meniup air di botol. Demikianlah cara melakukan kegiatan Mujahadah. Mari melakukan Mujahadah, semoga Allah mengabulkan doa kita, amien.

"Mencari Haqiqinya Hidup  untuk Hidup Haqiqi,
dan mencari Haqiqinya Manusia untuk Manusia yg Haqiqi"


#Rangkuman#


Bersikap Muahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Muaqabah dalam Membangun Hari Esok yang lebih baik

MU’AHADAH (Mengingat Perjanjian)
Kalimat ini diambil dari firman Alloh yang Maha Tinggi..”Dan tepatilah perjanjian dengan Alloh apabila kamu berjanji..” (An Nahl:91).
Cara Mu’ahadah
Hendaklah seorang mu’min berkholwat (menyendiri) antara dia dan Alloh untuk mengintrospeksi diri seraya mengatakan pada dirinya “..WAHAI JIWAKU,SESUNGGUHNYA KAMU TELAH BERJANJI KEPADA RABMU SETIAP HARI DISAAT KAMU BERDIRI MEMBACA..”..Hanya Kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan” WAHAI JIWAKU,BUKANKAH DALAM MUNAJAT INI ENGKAU TELAH BERIKRAR TIDAK AKAN BERHAMBA SELAIN KEPADA ALLO,TIDAK AKAN MEMINTA PERTOLONGAN SELAIN KEPADA-NYA.TIDAKKAH ENGKAU TELAH ENGKAU TELAH BERIKRAR UNTUK TETAP KOMITMEN KEPADA SHIRATAL MUSTAQIMYANG TERBATAS DARI KERUMITANDAN LIKU-LIKU PERJALANAN.. .TIDAKKAH ENGKAU TELAH BERIKRAR UNTUK BERPALING DARI JALAN ORANG-ORANG SESAT DAN DIMURKAI ALLOH.?
Kalau memang demikian hati-hatilah wahai jiwaku.Janganlah engkau langgar janjimu setelah Dia engkau jadikan pengawasmu.Janganlah engkau mundur dari jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Alloh sebagai saksimu.Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Alloh sebagai petunjuk jalan.
Hati-hati wahai jiwaku,jangan engkau ingkar setelah beriman,jangan tersesat setelah engkau mendapat petunjuk,janganlah engkau menjadi Fasik setelah Beriltizam (komitmen)..Barang siapa melanggar maka akibatnya akan menimpa dirinya,barang siapa tersesat maka kesesatannya itu akan menimpanya.
B. MUROQOBAH (Merasakan Kesertaan Alloh)
Landasan muroqobah dapat sobat temukan dalam surat Asy syura,yaitu dalam firman Alloh: “..Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk shalat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud (Asy Syura:218-219)
Dalam sebuah hadits ketika Nabi Shalallohu Alaihi Wa sallam ditanya tentang ihsan beliau menjawab :
“Hendaklah kamu beribadah kepada Alloh seolah-olah kamu melihat-Nya,dan jika memang kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Alloh melihat kamu.”
Makna Muroqobah
Muroqobah sebagaimana diisyaratkan oleh Al-qur’an dan Hadits,ialah : Merasakan keagungan Alloh Azza Wa Jalla disetiap waktu dan keadaan serta merasakan kebersamaan-Nya dikala sepi atau ramai.
Cara Muroqobah
Sebelum memulai suatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya,hendaklah seorang mu’min memeriksa dirinya ..Apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan pribadi dan mencari popularitas,ataukah karena dorongan ridla Alloh dan menghendaki pahala-Nya?
Jika benar-benar karena ridla Alloh maka ia akan melaksanakannya kendatipun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya.Kemudian ia menguatkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari ridla Alloh.
Itulah hakikat Ikhlas.itulah hakikat pembebasan diri dari penyakit Nifaq dan Riya’
Imam Hasan al Bashri (semoga Alloh merahmati beliau) berkata : “ semoga Alloh mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang selalu mempertimbangkan niatnya.Bila semata-mata karena Alloh maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya maka ditinggalkannya.”
Macam-macam muroqobah
Ada beberapa macam muroqobah:
 Muroqobah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
 Muroqobah dalam kemaksiatan adalah dengantaubat,penyesalan dan meninggalkannya secara total.
 Muroqobah dalam hal-hal yang mubah adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Alloh dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.
 Muroqobah dalam musibah adalah dengan ridha kepada ketentuan Alloh serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
C. MUHASABAH (Introspeksi Diri)
Dasar Muhasabah adalah firman Alloh dalam surat Al Hasyr:
“Hai orang-orang yang beriman,bertaqwalah kepada Alloh dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat),dan bertaqwalah kepada Alloh,sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan .”
Makna muhasabah sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini ialah:Hendaklah seorang mu’min menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan..apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan ridlo Alloh ?atau apakah amalnya dirembesi sifat riya?apakah dia sudah memenuhi hak-hak Alloh dan hak-hak manusia?..
Semoga Alloh meridlai Umar Al faruq R.A yang berkata : “ hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab,timbanglah diri kalian sebelum kalian di timbang,dan siap-siaplah untuk pertunjukan yang agung (hari kiamat).Dihari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan,tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satupun.”.
D. MU’AQOBAH (Pemberian sanksi)
Landasan Mu’aqobah adalah firman Alloh Azza Wa Jalla:
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,wahai orang-orang yang berakal,supaya kamu bertaqwa (Al baqoroh :178)
Sanksi yang kita maksudkan sebagaimana diisyaratkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang mu’min menemukan kesalahan maka tak pantas baginya untuk membiarkannya.Sebab membiarkan diri dalam kesalahan akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan semakin sulit untuk meninggalkannya.Bahkan sepatutnya dia memberikan sanksi atas dirinya dengan sanksi yang mubah sebagaimana memberikan sanksi kepada atas istri dan anak-anaknya..Hal ini merupajkan peringatan baginya agar tidak menyalahi ikrar,disamping merupakan dorongan untuk lebih bertaqwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.

Sanksi ini harus dengan sesuatu yang mubah tidak boleh dengan sanksi yang haram,seperti membakar salah satu anggota tubuh,mandi ditempat yang terbuka pada musim dingin ,meninggalkan makan dan minum sampai membahayakan dirinya..
Sanksi-sanksi ini dan yang sejenisnya haram hukumnya sebab termasuk dalam larangan yang tercantum dalam al qur’an:
“..Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan..” (Al Baqoroh:195)
“..dan janganlah kamu membunuh dirimu.Sesungguhnya Alloh adalah Maha Penyayang kepadamu.” (An Nisa:29)


#MENGGAPAI kebahagiaan dalam hidup adalah naluri fitrah yang mengalir dalam diri manusia. Jika boleh disederhanakan, apapun aktifitas yang dilakukan orang tersebut niscaya bermuara pada keinginan untuk sukses dan bahagia dalam hidupnya.
Namun rupanya persoalan itu berubah menjadi “tidak sederhana” lagi sekarang. Penyebabnya adalah terjadi perbedaan persepsi dalam memaknai kebahagiaan dan kegemilangan hidup itu sendiri.
Di sisi lain, pemikiran materialisme dan budaya hedonisme juga kian mengarus kuat dalam keseharian manusia saat ini. Gemerlap dunia dengan segala pesonanya seolah mampu menyihir pandangan manusia. Akibatnya, ia hanya mampu menakar segala sesuatu dengan ukuran kebendaan. Matanya silau dan melihat setiap urusan dengan kacamata untung rugi semata. Alih-alih melibatkan keimanan dalam kehidupannya, Akhiratpun nyaris terlupakan olehnya.
Inilah potret buram dari kehidupan manusia yang begitu memuja kedigdayaan ilmu dan capaian teknologi di dalamnya. Tanpa ragu, mereka seolah ingin mencampakkan agama dari kehidupan manusia di dunia. Satu hal yang pasti, ketika kondisi itu terjadi, maka orientasi hidup manusia jadi bergeser. Mereka mengejar kebahagiaan tapi malah tersesat di jalan tak berujung. Puncaknya, orang tersebut kian terlalaikan dari mengingat hari Akhirat.
Pilar bahagia
Allah berfirman;
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS: Surah Fathir [35]: 29).
Ayat di atas memberi penjelasan cara mudah meraih kebahagiaan. Di saat orang lain masih sibuk merenda mimpi tentang makna dan cara menggapai kebahagiaan. Orang beriman ternyata hanya ditawari melakukan tiga hal sederhana untuk mewujudkan bahagia tersebut. Perniagaan yang tak akan merugi (tijaratan lan tabura), demikian tawaran yang Allah berikan.
Pilar bahagia pertama, membaca al-Qur’an
Qatadah mengingatkan, meski membaca al-Qur’an sudah beroleh pahala dan kemuliaan, namun sejatinya hal tersebut tak cukup bagi orang beriman. Sebab proses selanjutnya adalah menerapkan nilai-nilai al-Qur’an itu dalam kehidupan dunia. Al-Qur’an bukanlah ilmu yang dipelajari dan dinilai secara kognitif semata. Ia adalah implemetasi ilmu dan adab setiap orang beriman. Akhlak Rasulullah adalah al-Qur’an, demikian jawaban Aisyah, Ummu al-Mukminin ketika ditanya tentang keseharian Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
Syeikh Abdurrahman as-Sa’di menerangkan pola interaksi yang benar dengan al-Qur’an. Hendaknya manusia berupaya mengikuti segala perintah yang datang dari al-Qur’an dan menjauhi semaksimal mungkin larangannya. Menurut as-Sa’di, termasuk cara berinteraksi dengan al-Qur’an ketika seseorang membaca ayat demi ayat secara rutin dan mempelajarinya. Sebab mengetahui makna dan kandungan al-Qur’an akan memudahkan seseorang untuk mengamalkan dalam kesehariannya (Tafsir Taisir Karim ar-Rahman,Penerbit Muassasah ar-Risalah, Beirut: 2000).
Pilar bahagia kedua ibadah shalat
Shalat merupakan ibadah utama dari seluruh rangkaian penghambaan kepada Allah. Shalat adalah tiang agama sekaligus wasilah utama dalam meraih kemenangan hidup dalam panggilannya “hayya ala al-falah”. Setali tiga uang, shalat juga sarana terbaik dalam mengatasi ragam persoalan hidup manusia.
  
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu…” (QS Al-Baqarah [2]: 45).
Terakhir, pilar ketiga yaitu komitmen berinfak dalam segala keadaan yang dihadapi
Sebab infak atau sedekah adalah bukti kejujuran iman dalam hati. Ia sebagai media terbaik dalam mengikis kecintaan yang berlebihan terhadap harta serta sarana untuk memperat ikatan ukhuwah di tengah masyarakat. Menurut asy-Syaukani, tak ada perbedaan dalam berinfak, baik secara sembunyi (sirran) ataupun terang-terangan (‘alan). Semuanya baik pada situasi dan keadaannya. Tak lupa pastikan ibadah itu lahir dari panggilan keimanan kepada Allah semata (Tafsir Fath al-Qadir, Penerbit Dar Ibn Katsir, Beirut: 1993).
Untuk pilar yang disebut terakhir, satu hal yang menjadi pembeda antara ajaran Islam dan selainnya adalah konsep memberi manfaat. Nilai itu tak diukur dengan manfaat yang dibagi. Semakin banyak ia memberi manfaat niscaya bibit kebahagiaan itu kian subur dalam jiwa seseorang. Manusia yang terbaik di antara kalian adalah yang terbanyak membagi manfaat kepada sesamanya. Demikian Rasulullah memberi motivasi.*

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap jiwa (orang) memperhatikan apa yang diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (Q.S. Al Hasyr : 18)
Adalah menjadi kewajiban setiap orang merancang dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa seorang akan merugi kalau hari esoknya sama saja dengan hari ini, bahkan dia menjadi terkutuk jika hari ini lebih buruk dari kemarin. Seseorang baru dikatan bahagia, jika hari esok itu lebih baik dari hari ini.

Membangun hari esok yang baik, sesuai dengan ayat (wahyu Allah SWT) di atas dimulai dengan perintah bertaqwa kepada Allah dan di akhiri dengan perintah yang sama. Ini mengisyaratkan bahwa landasan berfikir, serta tempat bertolak untuk mempersiapkan hari esok haruslah dengan taqwa.
Semestinya orang Mukmin punya langkah antisipatif terhadap kemungkinan yang dapat terjadi esok disebabkan kelalaian hari ini.
Seorang mukmin sudah dapat memprediksi dan mempersiapkan hari esok yang lebih baik, dinamis, lebih mapan, lebih produktif dari pada hari ini.
Simpulannya, mesti ada peningkatan prestasi dari hari ke hari. Hari esok dapat berarti masa depan dalam kehidupan pendek di dunia ini.
Hari esok juga berarti pula hari esok yang hakiki, yang kekal abadi di akhirat kelak.
Hari esok mesti dirancang harus lebih baik dari hari ini, dengan meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dengan melaksanakan lima “M ” ; yaitu Mu’ahadah, Mujahadah, Muraqabah, Muhasabah, dan Mu’aqabah.[1]

1. Mu’ahadah
Mu’ahadah adalah mengingat perjanjian dengan Allah SWT. Sebelum manusia lahir ke dunia, masih berada pada alam gaib, yaitu di alam arwah, Allah telah membuat “kontrak” tauhid dengan ruh.
Kontrak tauhid ini terjadi ketika manusia masih dalam keadaan ruh belum berupa materi (badan jasmani). Karena itu, logis sekali jika manusia tidak pernah merasa membuat kontrak tauhid tersebut.
Mu’ahadah konkritnya diikrarkan oleh manusia mukmin kepada Allah setelah kelahirannya ke dunia, berupa ikrar janji kepada Allah. Wujudnya terefleksi minimal 17 kali dalam sehari dan semalam, bagi yang menunaikan shalat wajib, sebagaimana tertera di dalam surat Al Fatihah ayat 5 yang berbunyi: “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in”. Artinya, engkau semata wahai Allah yang kami sembah, dan engkau semata pula tempat kami menyandarkan permohonan dan permintaan pertolongan.
Ikrar janji ini mengandung ketinggian dan kemantapan aqidah. Mengakui tidak ada lain yang berhak disembah dan dimintai pertolongan, kecuali hanya Allah semata.
Tidak ada satupun bentuk ibadah dan isti’anah (Permintaan Pertolongan) yang boleh dialamatkan kepada selain Allah SWT.[2]
Mu’ahadah yang lain adalah ikrar manusia ketika mengucapkan kalimat “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya kuperuntukkan (ku-abdikan) bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam.”

2. Mujahadah
Mujahadah berarti bersungguh hati melaksanakan ibadah dan teguh berkarya amal shaleh, sesuai dengan apa yang telah diperintahkan Allah SWT yang sekaligus menjadi amanat serta tujuan diciptakannya manusia.
Dengan beribadah, manusia menjadikan dirinya ‘abdun (hamba) yang dituntut berbakti dan mengabdi kepada Ma’bud (Allah Maha Menjadikan) sebagai konsekuensi manusia sebagai hamba wajib berbakti (beribadah).
Mujahadah adalah sarana menunjukkan ketaatan seorang hamba kepada Allah, sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan kepada-Nya. Di antara perintah Allah SWT kepada manusia adalah untuk selalu berdedikasi dan berkarya secara optimal.
Hal ini dijelaskan di dalam Al Qur’an Surat At Taubah ayat: 5,
“Dan katakanlah, bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitahukan-Nya kepada kamu apa-apa yang telah kamu kerjakan.”
Orang-orang yang selalu bermujahadah merealisasikan keimanannya dengan beribadah dan beramal shaleh dijanjikan akan mendapatkan petunjuk jalan kebenaran untuk menuju (ridha) Allah SWT hidayah dan rusyda yang dijanjikan Allah diberikan kepada yang terus bermujahadah dengan istiqamah.
Kecerdasan dan kearifan akan memandu dengan selalu ingat kepada Allah SWT, tidak terpukau oleh bujuk rayu hawa nafsu dan syetan yang terus menggoda.
Situasi batin dari orang-orang yang terus musyahadah (menyaksikan) keagungan Ilahi amat tenang. Sehingga tak ada kewajiban yang diperintah dilalaikan dan tidak ada larangan Allah yang dilanggar.
Jiwa yang memiliki rusyda terus hadir dengan khusyu’. Inilah sebenarnya yang disebut mujahidin ‘ala nafsini wa jawarihihi, yaitu orang yang selalu bersungguh dengan nuraninya dan gerakannya.
Syeikh Abu Ali Ad Daqqaq mengatakan: “Barangsiapa menghias lahiriahnya dengan mujahadah, Allah akan memperindah rahasia batinnya melalui musyahadah.”
Imam Al Qusyairi an Naisaburi [3] mengomentari tentang mujahadah sebagai berikut:
« Jiwa mempunyai dua sifat yang menghalanginya dalam mencari kebaikan; Pertama larut dalam mengikuti hawa nafsu, Kedua ingkar terhadap ketaatan.
Manakala jiwa ditunggangi nafsu, wajib dikendalikan dengan kendali taqwa. Manakala jiwa bersikeras ingkar kepada kehendak Tuhan, wajib dilunakkan dengan menolak keinginan hawa nafsunya.
Manakala jiwa bangkit memberontak, wajib ditaklukkan dengan musyahadah dan istigfar.
Sesungguhnya bertahan dalam lapar (puasa) dan bangun malam di perempat malam (tahajjud), adalah sesuatu yang mudah.
Sedangkan membina akhlak dan membersihkan jiwa dari sesuatu yang mengotorinya sangatlah sulit. »
Mujahadah adalah suatu keniscayaan yang mesti diperbuat oleh siapa saja yang ingin kebersihan jiwa serta kematangan iman dan taqwa.

“Dan sesunggunya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada satu ucapanpun yang diucapkannya melainkan adal di dekatnya Malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Q.S. Qaaf: 16-18).

3. Muraqabah
Muraqabah artinya merasa selalu diawasi oleh Allah SWT sehingga dengan kesadaran ini mendorong manusia senantiasa rajin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Sesungguhnya manusia hakikinya selalu berhasrat dan ingin kepada kebaikan dan menjunjung nilai kejujuran dan keadilan, meskipun tidak ada orang yang melihatnya.
Kehati-hatian (mawas diri) adalah kesadaran. Kesadaran ini makin terpelihara dalam diri seseorang hamba jika meyakini bahwa Allah SWT senantiasa melihat dirinya.
Syeikh Ahmad bin Muhammad Ibnu Al Husain Al Jurairy mengatakan, « “Jalan kesuksesan itu dibangun di atas dua bagian. Pertama, hendaknya engkau memaksa jiwamu muraqabah (merasa diawasi) oleh Allah SWT. Kedua, hendaknya ilmu yang engkau miliki tampak di dalam perilaku lahiriahmu sehari-hari.” »
Syeikh Abu Utsman Al Maghriby mengatakan, « “Abu Hafs mengatakan kepadaku, ‘manakala engkau duduk mengajar orang banyak jadilah seorang penasehat kepada hati dan jiwamu sendiri dan jangan biarkan dirimu tertipu oleh ramainya orang berkumpul di sekelilingmu, sebab mungkin mereka hanya melihat wujud lahiriahmu, sedangkan Allah SWT memperhatikan wujud batinmu.” »
Dalam setiap keadaan seorang hamba tidak akan pernah terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, serta nikmat yang harus disyukuri. Muraqabah adalah tidak berlepas diri dari kewajiban yang difardhukan Allah SWT yang mesti dilaksanakan, dan larangan yang wajib dihindari.
Muraqabah dapat membentuk mental dan kepribadian seseorang sehingga ia menjadi manusia yang jujur.
« Berlaku jujurlah engkau dalam perkara sekecil apapun dan di manapun engkau berada.
Kejujuran dan keikhlasan adalah dua hal yang harus engkau realisasikan dalam hidupmu. Ia akan bermanfaat bagi dirimu sendiri.
Ikatlah ucapanmu, baik yang lahir maupun yang batin, karena malaikat senantiasa mengontrolmu. Allah SWT Maha Mengetahui segala hal di dalam batin.
Seharusnya engkau malu kepada Allah SWT dalam setiap kesempatan dan seyogyanya hukum Allah SWT menjadi pegangan dlam keseharianmu.
Jangan engkau turuti hawa nafsu dan bisikan syetan, jangan sekali-kali engkau berbuat riya’ dan nifaq. Tindakan itu adalah batil. Kalau engkau berbuat demikian maka engkau akan disiksa.
Engkau berdusta, padalah Allah SWT mengetahui apa yang engkau rahasiakan. Bagi Allah tidak ada perbedaan antara yang tersembunyi dan yang terang-terangan, semuanya sama.
Bertaubatlah engkau kepada-Nya dan dekatkanlah diri kepada-Nya (Bertaqarrub) dengan melaksanakan seluruh perintah-Nya dan menjauhi seluruh larangan-Nya.” » [4]  
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya, dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya). Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna, dan bahwasanya kepada Tuhanmulah kesudahan (segala sesuatu), dan bahwasanya DIA yang menjadikan orang tertawa dan menangis, dan bahwasanya DIA yang mematikan dan yang menghidupkan.” (QS. An-Najm: 39-44)

4. Muhasabah
Muhasabah berarti introspeksi diri, menghitung diri dengan amal yang telah dilakukan. Manusia yang beruntung adalah manusia yang tahu diri, dan selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan kelak yang abadi di yaumul akhir.
Dengan melakasanakan Muhasabah, seorang hamba akan selalu menggunakan waktu dan jatah hidupnya dengan sebaik-baiknya, dengan penuh perhitungan baik amal ibadah mahdhah maupun amal sholeh berkaitan kehidupan bermasyarakat. Allah SWT memerintahkan hamba untuk selalu mengintrospeksi dirinya dengan meningkatkan ketaqwaannya kepada Allah SWT.
Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. melaksanakan shalat shubuh. Selesai salam, ia menoleh ke sebelah kanannya dengan sedih hati. Dia merenung di tempat duduknya hingga terbit matahari, dan berkata ;
« “Demi Allah, aku telah melihat para sahabat (Nabi) Muhammad SAW. Dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca kitab Allah dengan bergantian (mengganti-ganti tempat) pijakan kaki dan jidat mereka apabila menyebut Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar diterpa angin, mata mereka mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka dan orang-orang sekarang seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).” »
Muhasabah dapat dilaksanakan dengan cara meningkatkan ubudiyah serta mempergunakan waktu dengan sebaik-baiknya. Berbicara tentang waktu, seorang ulama yang bernama Malik bin Nabi berkata ; « “Tidak terbit fajar suatu hari, kecuali ia berseru, “Wahai anak cucu Adam, aku ciptaan baru yang menjadi saksi usahamu. Gunakan aku karena aku tidak akan kembali lagi sampai hari kiamat.” » [5]
Waktu terus berlalu, ia diam seribu bahasa, sampai-sampai manusia sering tidak menyadari kehadiran waktu dan melupakan nilainya. Allah SWT bersumpah dengan berbagai kata yang menunjuk pada waktu seperti Wa Al Lail (demi malam), Wa An Nahr (demi siang), dan lain-lain.
Waktu adalah modal utama manusia. Apabila tidak dipergunakan dengan baik, waktu akan terus berlalu. Banyak sekali hadits Nabi SAW yang memperingatkan manusia agar mempergunakan waktu dan mengaturnya sebaik mungkin.

“Dua nikmat yang sering disia-siakan banyak orang: Kesehatan dan kesempatan (waktu luang).” (H.R. Bukhari melalui Ibnu Abbas r.a).

5. Mu’aqabah
Muaqabah artinya pemberian sanksi terhadap diri sendiri. Apabila melakukan kesalahan atau sesuatu yang bersifat dosa maka ia segera menghapus dengan amal yang lebih utama meskipun terasa berat, seperti berinfaq dan sebagainya.
Kesalahan maupun dosa adalah kesesatan.
Oleh karena itu agar manusia tidak tersesat hendaklah manusia bertaubat kepada Allah, mengerjakan kebajikan sesuai dengan norma yang ditentukan untuk menuju ridha dan ampunan Allah.
Berkubang dan hanyut dalam kesalahan adalah perbuatan yang melampaui batas dan wajib ditinggalkan.
Di dalam ajaran Islam, orang baik adalah orang yang manakala berbuat salah, bersegera mengakui dirinya salah, kemudian bertaubat, dalam arti kembali ke jalan Allah dan berniat dan berupaya kuat untuk tidak akan pernah mengulanginya untuk kedua kalinya.
Shadaqallahul’azhim. Allahu A’lamu Bissawab.


Catatan kaki ;
[1] Syeikh Abdullah Nasih ‘Ulwan dalam bukunya ‘Ruhniyatut Da’iyah’
[2] Demikian komentar Imam as Syaukani dalam kitab tafsirnya ‘Fathul Qadir’ dan Syeikh Ali As Shabuni dalam kitab tafsirnya ‘Shafwatut Tafaasir’.
[3] Kitab tasawuf, “Risalatul Qusyairiyah”.
[4] Syeikh Abdul Kadir Jailany memberikan nasehat kepada kita sebagaimana yang terdapat dalam kitabnya Al Fathu Arrabbaani wa Al Faidh Ar Rahmaani.
[5] Malik bin Nabi dalam bukunya Syuruth An Nahdhah



SYA’BAN
Membaca surah yasiin sebanyak 3x sesudah sembahyang sunat ba’diah maghrib dengan Niat sebagai berikut:
>> NIAT YANG PERTA
بسم الله الرحمن الرحيم
Ya Allah Ya Tuhanku ampunilah segala Dosaku dan Dosa ibu bapaku dan Dosa keluargaku dan dosa jiranku dan Dosa muslimin dan muslimat, dan panjangkanlah umurku di dalam tha’at ibadat kepada engkau dan kuatkanlah imanku dengan berkat surat Yasiin
>> NIAT YANG KE DUA
بسم الله الرحمن الرحيم
Ya ALLAH YA TUHANKU ampunilah segala dosaku dan dosa ibu bapaku dan dosa keluargaku dan dosa jiranku dan dosa muslimin dan muslimat, dan peliharakanlah diriku dari segala kebinasaan dan penyakit, dan kabullanlah hajatku dengan berkat surat Yasiin.
>> NIAT YANG KETIGA
بسم الله الرحمن الرحيم
YA ALLAH YA TUHANKU ampunilah segala dosaku dan dosa ibu bapaku dan dosa keluargaku dan dosa jiranku dan dosa muslimin dan muslimat, dan kayakanlah hatiku dari segala makhluk dan berilah aku dan kelurgaku dan jiranku HUSNUL KHATIMAH dengan berkat surat Yasiin.
Amalan di Malam Nishfu Sya’ban
mengenai doa dimalam nisfu sya’ban adalah sunnah Rasul saw, sebagaimana hadits2 berikut :
Sabda Rasulullah saw : “Allah mengawasi dan memandang hamba hamba Nya di malam nisfu sya’ban, lalu mengampuni dosa dosa mereka semuanya kecuali musyrik dan orang yg pemarah pada sesama muslimin” (Shahih Ibn Hibban hadits no.5755)
berkata Aisyah ra : disuatu malam aku kehilangan Rasul saw, dan kutemukan beliau saw sedang di pekuburan Baqi’, beliau mengangkat kepalanya kearah langit, seraya bersabda : “Sungguh Allah turun ke langit bumi di malam nisfu sya’ban dan mengampuni dosa dosa hamba Nya sebanyak lebih dari jumlah bulu anjing dan domba” (Musnad Imam Ahmad hadits no.24825)
berkata Imam Syafii rahimahullah : “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya’ban” (Sunan Al Kubra Imam Baihaqiy juz 3 hal 319).
dengan fatwa ini maka kita memperbanyak doa di malam itu, jelas pula bahwa doa tak bisa dilarang kapanpun dan dimanapun, bila mereka melarang doa maka hendaknya mereka menunjukkan dalilnya?,
bila mereka meminta riwayat cara berdoa, maka alangkah bodohnya mereka tak memahami caranya doa, karena caranya adalah meminta kepada Allah,
pelarangan akan hal ini merupakan perbuatan mungkar dan sesat, sebagaimana sabda Rasulullah saw : “sungguh sebesar besarnya dosa muslimin dg muslim lainnya adalah pertanyaan yg membuat hal yg halal dilakukan menjadi haram, karena sebab pertanyaannya” (Shahih Muslim)
disunnahkan malam itu untuk memperbanyak ibadah dan doa, sebagaimana di Tarim para Guru Guru mulia kita mengajarkan murid muridnya untuk tidak tidur dimalam itu, memperbanyak Alqur’an doa, dll
Sahabatku Sekalian.
Pada malam tanggal 15 Sya’ban (Nisfu Sya’ban) telah terjadi peristiwa penting dalam sejarah perjuangan umat Islam yang tidak boleh kita lupakan sepanjang masa. Di antaranya adalah perintah memindahkan kiblat salat dari Baitul Muqoddas yang berada di Palestina ke Ka’bah yang berada di Masjidil Haram, Makkah pada tahun ke delapan Hijriyah.
Sebagaimana kita ketahui, sebelum Nabi Muhammad hijrah ke Madinah yang menjadi kiblat salat adalah Ka’bah. Kemudian setelah beliau hijrah ke Madinah, beliau memindahkan kiblat salat dari Ka’bah ke Baitul Muqoddas yang digunakan orang Yahudi sesuai dengan izin Allah untuk kiblat salat mereka. Perpindahan tersebut dimaksudkan untuk menjinakkan hati orang-orang Yahudi dan untuk menarik mereka kepada syariat al-Quran dan agama yang baru yaitu agama tauhid.
Tetapi setelah Rasulullah saw menghadap Baitul Muqoddas selama 16-17 bulan, ternyata harapan Rasulullah tidak terpenuhi. Orang-orang Yahudi di Madinah berpaling dari ajakan beliau, bahkan mereka merintangi Islamisasi yang dilakukan Nabi dan mereka telah bersepakat untuk menyakitinya. Mereka menentang Nabi dan tetap berada pada kesesatan.
Karena itu Rasulullah saw berulang kali berdoa memohon kepada Allah swt agar diperkenankan pindah kiblat salat dari Baitul Muqoddas ke Ka’bah lagi, setelah Rasul mendengar ejekan orang-orang Yahudi yang mengatakan, “Muhammad menyalahi kita dan mengikuti kiblat kita. Apakah yang memalingkan Muhammad dan para pengikutnya dari kiblat (Ka’bah) yang selama ini mereka gunakan?”
Ejekan mereka ini dijawab oleh Allah swt dalam surat al Baqarah ayat 143:
وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِى كُنْتَ عَلَيْهَا إلاَّ لِيَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ.
Dan kami tidak menjadikan kiblat yang menjadi kiblatmu, melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot.
Dan pada akhirnya Allah memperkenankan Rasulullah saw memindahkan kiblat salat dari Baitul Muqoddas ke Ka’bah sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 144.
Diantara kebiasaan yang dilakukan oleh umat Islam pada malam Nisfu Sya’ban adalah membaca surat Yasin tiga kali yang setiap kali diikuti doa yang antara lain isinya adalah:
“Ya Allah jika Engkau telah menetapkan aku di sisi-Mu dalam Ummul Kitab (buku induk) sebagai orang celaka atau orang-orang yang tercegah atau orang yang disempitkan rizkinya maka hapuskanlah ya Allah demi anugerah-Mu, kecelakaanku, ketercegahanku,dan kesempitan rizkiku..”
Bacaan Yasin tersebut dilakukan di masjid-masjid, surau-surau atau di rumah-rumah sesudah salat maghrib.
Sebagian dari orang-orang yang mengaku ahli ilmu telah menganggap ingkar perbuatan tersebut, menuduh orang-orang yang melakukannya telah berbuat bid’ah dan melakukan penyimpangan terhadap agama karena doa dianggap ada kesalahan ilmiyah yaitu meminta penghapusan dan penetapan dari Ummul Kitab. Padahal kedua hal tersebut tidak ada tempat bagi penggantian dan perubahan.
Tanggapan mereka ini kurang tepat, sebab dalam syarah kitab hadist Arbain Nawawi diterangkan bahwa takdir Allah swt itu ada empat macam:
  • Takdir yang ada di ilmu Allah. Takdir ini tidak mungkin dapat berubah, sebagaimana Nabi Muhammad saw bersabda:
لاَيَهْلِكُ اللهُ إلاَّ هَالِكًا
“Tiada Allah mencelakakan kecuali orang celaka, yaitu orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah Taala bahwa dia adalah orang celaka.”
  • Takdir yang ada dalam Lauhul Mahfudh. Takdir ini mungkin dapat berubah, sebagaimana firman Allah dalam surat ar-Ra’du ayat 39 yang berbunyi:
يَمْحُو اللهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الكِتَابِ.
“Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang dikehendaki, dan di sisi-Nyalah terdapat Ummul Kitab (Lauhul Mahfudz).”
Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar, bahwa beliau mengucapkan dalam doanya yaitu “Ya Allah jika engkau telah menetapkan aku sebagai orang yang celaka maka hapuslah kecelakaanku, dan tulislah aku sebagai orang yang bahagia”.
  • Takdir dalam kandungan, yaitu malaikat diperintahkan untuk mencatat rizki, umur, pekerjaan, kecelakaan, dan kebahagiaan dari bayi yang ada dalam kandungan tersebut.
  • Takdir yang berupa penggiringan hal-hal yang telah ditetapkan kepada waktu-waktu yang telah ditentukan. Takdir ini juga dapat diubah sebagaimana hadits yang menyatakan: “Sesungguhnya sedekah dan silaturrahim dapat menolak kematian yang jelek dan mengubah menjadi bahagia.” Dalam salah satu hadits Nabi Muhammad saw pernah bersabda,
إنَّ الدُّعَاءَ وَالبَلاَءَ بَيْنَ السَّمَاءِ والاَرْضِ يَقْتَتِلاَنِ وَيَدْفَعُ الدُّعَاءُ البَلاَءَ قَبْلَ أنْ يَنْزِلَ.
“Sesungguhnya doa dan bencana itu diantara langit dan bumi, keduanya berperang; dan doa dapat menolak bencana, sebelum bencana tersebut turun.”
Diantara kebiasaan kaum muslimin pada malam Nisfu Sya’ban adalah melakukan salat pada tengah malam dan datang ke pekuburan untuk memintakan maghfirah bagi para leluhur yang telah meninggal dunia. Kebiasaan seperti ini adalah berdasar dari amal perbuatan atau sunnah Nabi Muhammad saw. Antara lain ada hadist yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Musnadnya dari Sayidah Aisyah RA, yang artinya kurang lebih sebagai berikut:
“Pada suatu malam Rasulullah saw berdiri melakukan salat dan beliau memperlama sujudnya, sehingga aku mengira bahwa beliau telah meninggal dunia. Tatkala aku melihat hal yang demikian itu, maka aku berdiri lalu aku gerakkan ibu jari beliau dan ibu jari itu bergerak lalu aku kembali ke tempatku dan aku mendengar beliau mengucapkan dalam sujudnya: “Aku berlindung dengan maaf-Mu dari siksa-Mu; aku berlindung dengan kerelaan-Mu dari murka-Mu; dan aku berlindung dengan Engkau dari Engkau. Aku tidak dapat menghitung sanjungan atas-Mu sebagaimana Engkau menyanjung atas diri-Mu.” Setelah selesai dari salat beliau bersabda kepada Aisyah, “Ini adalah malam Nisfu Sya’ban. Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla berkenan melihat kepada para hamba-Nya pada malam Nisfu Sya’ban, kemudian mengampunkan bagi orang-orang yang meminta ampun, memberi rahmat kepada orang-orang yang memohon rahmat, dan mengakhiri ahli dendam seperti keadaan mereka.”
Nabi Muhammad saw pada malam Nisfu Sya’ban berdoa untuk para umatnya, baik yang masih hidup maupun mati. Dalam hal ini Sayidah Aisyah RA meriwayatkan hadits:
“Sesungguhnya Nabi Muhammad saw telah keluar pada malam ini (malam Nisfu Sya’ban) ke pekuburan Baqi’ (di kota Madinah) kemudian aku mendapati beliau (di pekuburan tersebut) sedang memintakan ampun bagi orang-orang mukminin dan mukminat dan para syuhada.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGERTIAN MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

   Pengertian Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berinteraksi dengan sesama, tidak dapat hidup sendi...