Senin, 12 April 2021

 

singkat Arti Ujub Menurut Para Ulama dan Sahabat

Assalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakaatuhu.

Bismillaah walhamdulillaah Wasshalaatu wassalaamu ‘ala rasuulilaah, wa’ala aalihi wa shahbihi wa man walah.

APA ITU SIFAT UJUB ?

Ahibbati hafidzakumullaah, kaum muslimin yang saya cintai karena Allaah. Semoga Allaah subhanahu wa ta’ala selalu menjaga kita. Hati-hati sifat ‘ujub di dalam Ramadhan, sifat ujub dikatakan oleh para ulama diantaranya disebutkan di dalam kitab lisaanul ‘arab yaitu:

العُجْبُ : الكِبْرُ والزَّهْوُ

 “Ujub secara Bahasa artinya adalah merasa besar, merasa sombong. Ini adalah secara Bahasa.

Adapun sifat ujub di dalam istilah syari’at, disebutkan oleh para ulama rahimahullaahu ta’ala. Saya bacakan salah satu perkataan indah yang mudah dipahami. Disebutkan oleh ulama besar  abad ke 2 hijriyah, Abdullaah bin al Mubarak, ulama islam wafat pada tahun 181 hijriyah.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullaah di dalam kitab beliau Siyar A’lamin Nubala menyebutkan bahwa Abdullaah bin Mubarak rahimahullaahu ta’ala ditanya tentang ‘ujub. “ apa itu ‘ujub ? “ yang bertanya adalah Abu Wahab Al Marwazi. lalu Abdullaah bin Mubarak menjawab  :

“ أن ترى أن عندك شيئًا ليس عند غيرك “

Yang artinya : “ engkau melihat, bahwa engkau memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang  lain “.

Itulah ujub, merasa memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain. Bangga dengan yang dimiliki, menganggap orang lain tidak memilikinya. Kemudian beliau memberikan perkataan yang sangat-sangat berbahaya, yaitu tentang ‘ujub maksudnya. Beliau mengatakan :

“ لا أعلم في المصلين شيئًا شرًّا من العجب ”

Yang artinya : “ aku tidak mengetahui ada sesuatu yang lebih buruk di tengah orang-orang yang ahli shalat ( ahli ibadah maksudnya ), kecuali sifat ‘ujub “

 

HATI-HATI DENGAN SIFAT UJUB

Nah sifat ujub ini ahibbati hafidzakumullaahu ta’ala, di dalam Al-Qur’an tercela. Allaah subhanahu wa ta’ala menceritakan dalam surah al kahfi ayat 32-36, tentang dua orang petani. Yang satu mukmin ( beriman ), yang satu kafir. Yang kafir ini, dia mempunyai sifat ‘ujub dengan kebunnya yang banyak menghasilkan buah-buahan, dia mengatakan :

 ” أَنَا۠ أَكْثَرُ مِنكَ مَالًا وَأَعَزُّ نَفَرًا “

Yang artinya : “ Hartaku lebih banyak, daripada hartamu, dan pengikut-pengikutku lebih baik

“ وَدَخَلَ جَنَّتَهُۥ وَهُوَ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِۦ قَالَ مَآ أَظُنُّ أَن تَبِيدَ هَٰذِهِۦٓ أَبَدًا “

Yang artinya : “ Dan dia memasuki kebunnya sedang dalam keadaan dia dzalim terhadap dirinya sendiri     ( karena ujub ) ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya “

( Qur’an surah al kahfi ayat 34-35 )

Akhirnya Allaah subhanahu wa ta’alabinasakan kebun tersebut, sifat ujub. Kemudian di dalam hadits Rasulullaah shallallaahu ‘alayhi wa sallam, Nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam mengatakan tentang sifat ujub di dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiallaahu ‘anhu, nabi kita Muhammad shallallaahu ‘alayhi wa sallam bersabda :

” بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِى فِى حُلَّةٍ “

Artinya : “ Ketika ada seseorang di antara kita, berjalan dengan memakai baju mewahnya. . . “

”  تُعْجِبُهُ نَفْسُهُ “

Artinya : “ . . . Dirinya merasa bangga dengan apa yang dia miliki . . .

” مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ ، إِذْ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ “

Artinya : “ . . . Dia panjangkan rambutnya, kemudian Allaah ( subhanahu wa ta’ala ) benamkan dirinya ke dalam bumi, ( akibat sifat ujub ) maka dia senantiasa bergerak di dalam bumi tersebut sampai hari kiamat “

( Hadits riwayat bukhari dan muslim )

 

PERINGATAN TERHADAP SIFAT UJUB

Pantas memang akhirnya para ulama salaf mengingatkan kita tentang ‘ujub, seperti perkataan Umar bin khattab radhiallaahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh imam abdil barr dalam kitab beliau jami’ al bayan al ‘ilmi wa fadhlihi, beliau mengatakan :

 ” أخوف ما أخاف عليكم أن تهلكوا فيه ثلاث خلال “

Artinya : “ yang paling aku takuti atas kalian adalah kalian dibinasakan oleh tiga sifat “

  ”  شح مطاع “

Artinya : “ sifat bakhil yang ditaati “

 ”  وهوى متبع “

Artinya : “ dan hawa nafsu yang diikuti “

” واعجاب المرء بنفسه “

Artinya : “ dan merasa bangga dengan diri sendiri “

Salah satu sifat ujub yang sangat berbahaya di dalam bulan Ramadhan adalah merasa sudah banyak amal, merasa sudah banyak khatam Qur’an, sudah banyak sedekah, sudah puasa, sudah taraweh, sudah do’a, sudah dzikir, apalagi ?. Padahal ulama-ulama terdahulu, mereka senantiasa kalau sudah beramal, maka mereka akan ada rasa takut di dalam diri mereka.

 

KEHATI-HATIAN PARA  SAHABAT TERHADAP SIFAT UJUB

Sebagaimana perkataan Abdullah bin Abi Mulaikah rahimahullaah, seorang tabi’in :

“أدركت ثلاثين من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم كلهم يخاف النفاق على نفسه ما منهم أحد يقول إنه على إيمان جبريل وميكائيل “

Artinya : “ aku mendapati tiga puluh dari sahabat rasul shallallaahu ‘alayhi wa sallam ( seluruh dari mereka ) khawatir kemunafikan terhadap diri mereka, tidak ada diantara mereka seorang pun yang mengatakan bahwa iman mereka seperti imannya jibril dan mikail. “

( yang disebutkan dalam shahih bukhari )

Ini kebiasaan para sahabatradhiallaahu ‘anhu, mereka sangat takut, lihat lagi perkataan Abu Darda radhiallaahu ‘anhu :

” لئن أستيقن أن الله تَقَبَّلَ مني صلاةً واحدةً أَحَبُّ إِلَيَّ من الدنيا وما فيها “

Artinya : “ jika aku yakin bahwa Allaah ( subhanahu wa ta’ala ) menerima dariku satu shalat saja, maka itu semua lebih aku cintai dibandingkan dunia dan seisinya “

Kenapa ? karena Allaah subhanahu wa ta’ala berfirman dalam surah al-maidah ayat 27 :

 ” إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ. . . “

Artinya : “. . . sesungguhnya Allah ( subhanahu wa ta’ala ) hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa “

Itu perkataan dikatakan di dalam kitab tafsir Imam Ibnu Katsirahrahimahullaahu ta’ala. Begitu juga Ali bin Abi Thalib radhiallaahu ‘anhubeliau mengatakan :

” كونوا لقبول العمل أشدّ اهتماماً منكم بالعمل، ألم تسمعوا الله عزّ وجل يقول : إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ “

Artinya : “ Jadilah kalian orang-orang yang selalu perhatian terhadap diterimanya amal, lebih perhatian dibandingkan dengan beramal itu sendiri. Apakah kalian tidak mendengar Allaah subhanahu wa ta’ala berfirman : sesungguhnya Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwa “

Itu perkataan disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya. Maka ahibbati hafidzakumullaah, yang sudah banyak beramal dalam bulan Ramadhan, puasa, tarawih, baca qur’an, berdzikir, berdo’a, minta kepada Allaah subhanahu wa ta’ala. Agar senantiasa diterima amal ibadahnya, karena kita gak tahu apakah kita diterima amal ibadahnya atau tidak.

 

CARA MENGOBATI SIFAT UJUB

Terakhir saya akan menyebutkan pesan dari As-syaikh  Al-Allamah profesor doktor ‘Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Abbadhafidzahullaahu ta’ala, yang beliau berpesan bagaimana cara mengobati penyakit ujub dalam diri kita. Beliau mengatakan :

( Pertama )

أن يذكِّر نفسه بجوانب التَّقصير الأخرى التي عنده

“ Hendaknya dia selalu mengingatkan pada dirinya bahwa masih banyak yang kurang di dalam dirinya “

Kalau seandainya dia merasa ujub dengan ibadahnya, dengan hafalannya, dengan hal-hal yang ada dalam dirinya, maka dia harus merasa “ masih banyak yang kurang dalam diri saya ” masih banyak yang kurang, terus ingatkan.

( Yang kedua )

أن يذكِّر نفسه بأنَّ هذا الأمر الذي حصل له من فَضْلِ الله عليه ونعمته

“ Dia harus menancapkan di dalam dirinya bahwa apapun prestasi ibadah yang dia kerjakan dalam ramadhan ini khususnya, itu adalah murni dari Allaah jalla fi ‘ula 

Murni karunia Allaah, murni petunjuk Allaah, murni hidayah Allaah.

( Yang ketiga )

أن يذكِّر نفسَهُ بالقُصُور الذي عنده في العمل الذي قام به

“ Hendaknya dia selalu mengingat bahwa, amalan yang dia kerjakan belum sempurna, amalan yang dia kerjakan belum seperti yang diinginkan oleh Allaah ”

Akhirnya terus dia memperbaiki amalnya, semoga kita senntiasa dimudahkan oleh Allaah agar dimudahkan beramal, dan agar amalan kita diterima oleh Allaah subhanahu wa ta’alaWassalaamu’alaykum warahmatullaahi wabarakatuhu.

Tentang Sulitnya Memperbaiki Niat

Berbicara tentang niat adalah membahas sesuatu yang paling urgent dalam Islam. Karena niat adalah kedudukannya merupakan landasan diterimanya semua amal shalih, merupakan landasan utama Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menerima dan meridhai amal perbuatan seorang hamba.

Tapi bersamaan dengan demikian, kita dapati pernyataan dari beberapa para ulama Ahlus Sunnah yang menyatakan sulitnya untuk meraih keikhlasan dalam niat, sulitnya untuk memperbaiki niat. Yang paling terkenal diantaranya misalnya adalah ucapan Imam Sufyan Ats-Tsauri Rahimahullahu Ta’ala yang mengatakan:

مَا عَالَجْتُ شَيْئًا أَشَدَّ عَلَيَّ مِنْ نِيَتيِ

“Tidaklah aku berusaha memperbaiki sesuatu yang lebih berat pada diriku melebihi memperbaiki niatku.”

Paling berat memperbaiki niat, padahal ini yang paling penting dalam agama. Dari sini bahkan Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menyebutkan bahwa penyimpangan niat itu bermacam-macam. Lepas kita dari satu, akan masuk ke bentuk berikutnya. Lepas dari satu akan masuk ke bentuk berikutnya.

Ada penyimpangan niat karena mencari kedudukan, mencari pujian, mencari harta, bahkan meniatkan sesuatu dengan tujuan duniawi. Banyak macam-macamnya. Sampai-sampai Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala menyimpulkan:

فذلك البحر الذي لا ساحل له وقل من ينجو منه

“Adapun penyimpangan dalam masalah niat dan kehendak, tujuan amal manusia, maka itu ibaratnya seperti lautan luas yang tidak bertepi dan sedikit orang yang bisa selamat darinya.”

Bagaimana cara memperbaiki niat?

Coba kita bayangkan, seseorang yang berada di tengah samudera luas dia berenang sendirian yang tidak ada tepinya, dia mau kemana? Bagaimana cara menyelamatkan dirinya kalau bukan dengan pertolongan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala?

Sekarang, melihat kenyataan ini kita harusnya berpikir. Tidak semudah itu orang mengatakan “saya ingin mengiklaskan niat saya dalam ibadah ini, yang pentingsaya saya ikhlas dalam melakukan ini, niat saya ikhlas dalam bersedekah” dan seterusnya. Memang ini ucapan yang baik, tetapi kenyataan yang sesungguhnya tidak mudah mengucapkan untuk merealisasikan niat yang ikhlas tersebut dalam ibadah-ibadah yang kita lakukan.

Maka di sini saya akan menyebutkan pembahasan tentang niat secara ringkas dari satu sudut pandang yang penting sekali yang diingatkan oleh Imam Ibnul Qayyim Rahimahullahu Ta’ala. Beliau menjelaskan:

Manusia setiap melakukan sesuatu motivasi yang menggerakkannya adalah bersumber dari apa yang dirasakan kebutuhan dalam hatinya.

Ini berlaku untuk semua perbuatan dan kegiatan manusia yang dilakukan secara sadar, artinya dengan sengaja dan dengan kehendak. Yakni tidak seperti orang yang misalnya melakukan sesuatu refleks tanpa sadar atau orang yang mengigau bangun tiba-tiba dia jalan sendiri. Ini jelas gerakan tanpa sadar, tanpa niat, tanpa keinginan.

Semua secara mayoritas gerakan manusia; orang yang pergi ke kantor bekerja, orang yang pergi berdagang mencari uang, orang yang pergi berekreasi untuk bersantai-santai atau melihat pemandangan atau orang yang sekedar berjalan-jalan, semua bersumber dari keinginan hatinya untuk meraih kesenangan atau merasa itu penting.

Dari sini, ini juga berlaku untuk masalah-masalah ibadah. Kita bayangkan, kalau dalam hati kita tidak ada kecintaan kepada Allah atau sedikit kecintaan kepada Allah, rasa takut kepada Allah, pengagungan kepada Allah, kita bayangkan ini berarti kesimpulannya tidak akan mungkin kita bisa mengharapkan wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengharapkan kedekatan di sisiNya, mengharapkan balasan di sisiNya kalau hal-hal ini lemah dalam hati kita.

Hati kita akan memotivasi kita untuk berbuat dan mengharapkan sesuatu yang dominan di hati kita. Maka inilah bahayanya orang yang mencintai dunia secara berlebihan, orang yang selalu memperturutkan hawa nafsunya secara berlebihan, orang yang tidak mengisi tempat-tempat di hatinya dengan kecintaan kepada Allah, rasa takut dan berharap kepadaNya. Tidak akan bisa.

Iman akan mempengaruhi ikhlas, itu pasti. Kecintaan kepada Allah, ketakutan dan pengharapan, pasti itu yang akan mempengaruhi niat kita.

Makanya akan bisa dibayangkan orang yang di hatinya dipenuhi  kecintaan kepada dunia, kepada kedudukan, kepada jabatan, pujian dan sanjungan, pasti tidak akan dia bisa mencapai niat yang ikhlas dalam amalnya, tidak akan bisa mencapai khusyu’ dalam ibadahnya, tidak akan berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan, karena kita ketahui kebaikan-kebaikan disyariatkan untuk tujuan mengharapkan balasan di sisi Allah yang ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang mencintai Allah dengan benar disertai dengan ketakutan dan pengharapan padaNya.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an, menyebutkan keadaan hamba-hambaNya yang shalih:

أُولَـٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ …

Mereka-mereka yang diseru selain Allah (orang-orang shalih ini) justru mereka sendiri yang berlomba-lomba mencari jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah, siapa diantara mereka yang paling dekat denganNya dengan mereka mengharapkan rahmat Allah dan takut akan adzabNya..” (QS. Al-Isra[17]: 57)

Ini timbulnya dari keimanan dalam hati, ini timbulnya sesuai dengan apa yang mendominasi atau menguasai hati manusia.

Makanya dengan meningkatkan cinta, takut dan berharap, belajar tentang iman, utamanya dengan mengenal keagungan sifat-sifat Allah, kemahaindahan nama-namaNya, kesempurnaan sifat-sifatNya, akan menumbuhkan dasar-dasar iman ini, cinta, takut dan berharap yang ini akan dengan sendirinya meluruskan niat kita, memudahkan kita meraih ikhlas, membenarkan rasa takut kita, membenarkan pengharapan kita, menjadikan ibadah kita semakin khusyu’, bahkan berlomba-lomba dalam kebaikan, mencari kedekatan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana yang Allah sifati pada diri hamba-hambaNya yang shalih.

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala mudahkan kita semua untuk meraih itu dengan taufik dan karuniaNya.

Jihad Melawan Riya’

 بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله

Ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, pembahasan berikut ini tentang bagaimana cara kita berjihad melawan riya’, tentu melawan riya’ adalah perlu perjuangan dan ini bukan hanya perjuangan setahun dua tahun, bahkan perjuangan seumur hidup. Karena setan senantiasa berusaha menggoda kita agar tidak terjerumus dengan riya’.

Setan tidak peduli seorang amalnya sebesar apapun, sumbangannya sebanyak apapun, shalat sunnahnya berapa ratus rakaat pun, seletih apapun dalam beribadah, setan tidak peduli. Yang penting dia riya’, maka selesai urusan. Bagi setan yang penting dia riya’.

Oleh karenanya setan terus berusaha agar seseorang terjerumus dalam riya’. Dan ini perjuangan -kalau saya boleh katakan- perjuangan seumur hidup. Karena bisa jadi hari ini kita ikhlas, besok kita riya’. Jangankan hari ini ikhlas, siang ini ikhlas, malamnya bisa kita riya’. Jangankan siang dan malam, bahkan detik ini kita ikhlas, bisa jadi detik-detik berikutnya kita sudah riya’.

Maka ada beberapa hal yang harus kita renungkan agar kita bisa kuat dalam berjihad melawan riya’. Ada empat perkara yang saya ajak ikhwan dan akhwat renungkan bersama.

  1. Yang pertama adalah merenungkan akibat buruk bagi seorang yang riya’. Bagaimana akibat buruknya di akhirat.
  2. Yang kedua merenungkan bagaimana akibat orang yang riya’ di dunia. Akibat buruk apa yang dia rasakan di dunia.
  3. Yang ketiga, merenungkan tentang hakikat orang yang kita harapkan pujiannya, yang kita cari perhatian dari dia, ingin disanjung sama dia. Sebenarnya hakikat orang tersebut bagaimana?
  4. Yang keempat, perenungan tentang diri kita sendiri.

Ini adalah empat perenungan yang saya ajak ikhwan dan akhwat untuk merenungkannya.

1. Bagaimana tentang kesudahan orang yang riya’ di akhirat?

Adapun perenungan yang pertama, yaitu bagaimana tentang kesudahan orang yang riya’ di akhirat. Orang yang riya’ di akhirat sungguh menderita, dipermalukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antaranya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda dalam hadits riwayat Al-Imam Al-Bukhari:

مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللَّهُ بِهِ

“Barangsiapa yang memperdengarkan amalannya, maka Allah akan memperdengarkan tentang hakekatnya.”

وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللَّهُ بِهِ

“Barangsiapa yang memperlihatkan amalan shalihnya, maka Allah akan memperlihatkan hakekatnya kepada khalayak (yaitu pada hari kiamat kelak).” (HR. Bukhari)

Hadits ini ditafsirkan oleh para ulama dengan dua tafsiran. Yang pertama, jika seorang di dunia ternyata dia melakukan amal shalih dan dia menampakkan kepada orang lain seakan-akan dia tulus, seakan-akan dia ikhlas, dan orang tidak tahu isi hatinya, maka pada hari kiamat kelak Allah akan bongkar isi hatinya, Allah akan diperlihatkan kepada khalayak pada hari kiamat orang ini dulu riya’, orang ini dulu sum’ah, dia memperdengarkan amal shalihnya ingin dipuji, dia memperlihatkan amal shalihnya untuk disanjung, dia hanya pencitraan ketika beramal shalih. Ini tafsiran pertama dari hadits ini.

Tafsiran kedua dari hadits ini yaitu bahwasanya pada hari kiamat kelak Allah akan memperlihatkan pahala dari amalan yang dia kerjakan. Dulu dia puasa atau dia bersedekah atau di haji atau umrah karena riya’, karena dia sum’ah, dia dengar-dengarkan kepada orang-orang lain agar disanjung, maka pada hari kiamat Allah tampakkan pahala-pahala amal yang dilakukan. Bagaimana pahala puasanya, bagaimana pahala umrahnya, bagaimana pahala hajinya, bagaimana pahala sedekahnya, pahala yang besar yang dia lihat yang sungguh menggiurkan pahala tersebut. Tiba-tiba pahala tersebut Allah jadikan hancur semua.

…هَبَاءً مَّنثُورًا ﴿٢٣﴾

Seperti debu yang berterbangan (yang tidak ada nilainya).” (QS. Al-Furqan[25]: 23)

Kenapa? Karena selama ini dia membohongi masyarakat seakan-akan dia ikhlas, maka pada hari kiamat kelak dia akan dibongkar sehingga dia terpedaya, amal shalih yang dia lihat di depannya dia sangka adalah miliknya, tapi ternyata dihapuskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Ini salah satu akibat buruk bagi orang yang riya’ di akhirat.

Akibat buruk yang kedua, Allah Subhanahu wa Ta’ala mempermalukan mereka. Yaitu tatkala Allah memberikan balasan kepada manusia. Maka mereka berharap pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tapi apakah Allah mengasihani mereka? Tidak. Kata Allah Subhanahu wa Ta’ala:

اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا

“Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian harapkan dulu pujian mereka di dunia.”(HR. Ahmad)

Kalian kan dulu di dunia mengharapkan disanjung, mengharapkan dipuji, mengharapkan di-like, mengharapkan disanjung-sanjung, diangkat-angkat, dimuliakan dengan amal shalih kalian. Maka carilah pahala sama mereka. Bukankah kalian dahulu mengharapkan pujian mereka?

اذْهَبُوا إِلَى الَّذِينَ كُنْتُمْ تُرَاءُونَ فِي الدُّنْيَا

“Pergilah kalian kepada orang-orang yang kalian harapkan pujian mereka dulu di dunia.”

Cari pahala sama mereka, cari balasan sama mereka.

هَلْ تَجِدُونَ عِنْدَهُمْ جَزَاءً

“Apakah kalian akan mendapatkan balasan dari mereka?” Jawaban tentu tidak! Ini ejekan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

InsyaAllah kita lanjutkan lagi pada kajian berikutnya.

والله أعلمُ ﺑﺎ ﻟﺼﻮﺍﺏ

Amalan Ringan Pahala Besar

الحمد لله ربّ العالمين، والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين، نبينا محمد وآله وصحبه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين

امّا بعد

Akhi..

Di dalam kita beramal shalih, penting kiranya untuk mengetahui bagaimana dan apa amal-amal yang bisa menyebabkan suatu amal tersebut menjadi besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kalau kita lihat dan perhatikan, apabila seseorang pekerja kuli bangunan, ia bekerja dari jam 7 sore sampai jam 5 pagi, ia mengangkat pasir, ia mengangkat batu bata, begitu capeknya, tapi ternyata gajinya sehari mungkin Rp. 70.000,- sampai Rp. 100.000,-. Sementara si kontraktor yang hanya sebatas menyuruh, melarang, menganjurkan, tak banyak ia mengeluarkan tenaga, tapi ternyata gajinya jauh lebih besar daripada itu, hasilnya pun jauh lebih besar daripada para pekerja itu. Apa yang membedakannya? Yang membedakan adalah ilmu.

Maka dari itu seseorang yang beramal shalih pun demikian seharusnya. Ketika misalnya seseorang beramal dengan tanpa ilmu, yang dia inginkan adalah beramal, beramal, beramal, tanpa berpikir bagaimana saya bisa mendapatkan pahala yang besar. Tapi orang yang berilmu, dia berpikir bagaimana saya bisa mendapatkan sebesar-besarnya pahala dengan amal yang paling ringan.

Lalu bagaimana kiat-kiat agar kita bisa mendapatkan pahala besar dengan amal yang ringan?

1. Ikhlas

Yang pertama yaitu bahwa semakin ikhlas, maka semakin besar pahalanya. Bahkan semakin tidak ikhlas, semakin kecil pahalanya bahkan bisa jadi dia mendapatkan dosa.

Contoh misalnya ada dua orang shalat, yang satu ikhlas mengharapkan wajah Allah, yang kedua ternyata tidak ikhlas, dia mengharapkan wajah manusia. Maka yang satu dapat pahala dan yang satu dapat dosa. Karena keikhlasan tersebut.

2. Sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Yang kedua yaitu semakin amalan tersebut sesuai dengan contoh Rasulullah, maka semakin besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebuah contoh misalnya, apabila dua orang shalat qobliyahsubuh. Yang satu shalat qobliyahnya dipercepat, yang satu shalat qobliyahsubuhnya diperlambat. Maka kita bertanya, mana yang lebih utama daripada dua orang ini? Jawabnya yang dipercepat itu lebih utama. Kenapa? Karena itu yang lebih sesuai dengan contoh dan praktek Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Contoh lagi, ada dua orang wanitayang satu shalat di rumah yang satu shalat di masjid. Mungkin kalau ia pergi ke masjid lebih capek daripada shalat di rumah. Tapi mana yang lebih besar pahalanya? Tentu yang shalat di rumah lebih utama. Karena Rasulullah bersabda:

لَا تَمْنَعُوا إِمَاءَ اللَّهِ مَسَاجِدَ اللَّهِ ، وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ

“Jangan kalian mencegah para wanita untuk pergi ke masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik buat mereka.” (HR. Muslim)

Kata Rasulullah: “Rumah mereka lebih baik buat mereka.”

3. Yang lebih berat di hati

Kemudian di antara kiat agar kita bisa mendapatkan pahala lebih besar, yaitu bahwa suatu amal walaupun kecil tapi itu lebih berat di hati, itu bisa lebih besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebuah contoh, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

سَبَقَ دِرْهَمٌ مِائَةَ ألفِ دِرْهَم

“Satu dirham bisa mengalahkan seratus ribu dirham.” Subhanallah.

Lalu para sahabat bertanya: “Bagaimana bisa itu Wahai Rasulullah?”

Kata Rasulullah:

رَجُلٌ لَهُ مَالٌ كَثِيرٌ

“Ada orang yang punya harta melimpah ruah, banyak sekali.” Kemudian dia ambil 100.000 dirham dan dia infakkan. Sementara yang satu lagi -kata Rasulullah- hartanya hanya dua dirham, lalu dia ambil satu dirham dan ia infakkan. Maka yang satu dirham ini lebih besar pahalanya daripada 100.000 dirham. Kenapa demikian? Coba bayangkan, kalau kita punya uang satu miliar, untuk berinfaksatu juta tentu mudah sekali. Tapi kalau uang kita hanya Rp. 200.000, untuk berinfak Rp. 50.000 terkadang kita mikir-mikir.

Ini menunjukkan bahwa semakin besar perjuangan kita di dalam melakukan suatu ibadah, semakin besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

4. Yang lebih berkesan di hati

Di antara kiat agar mendapatkan pahala yang besar yaitu ibadah yang lebih berkesan dan mengokohkan hati, itu lebih utama. Imam Ahmad pernah ditanya tentang amal apa yang paling utama wahai Abu Abdillah? Kata Imam Ahmad: “Coba kamu lihat, mana yang lebih berkesan di hati kamu, maka itulah yang paling utama.”

Ada orang berdzikir, yang satu baca Qur’an, yang satu membaca “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaaha Illallah, Allahu Akbar“. Pada asalnya membaca Al-Qur’an adalah dzikir yang paling utama. Tapi suatu keadaan misalnya kalau dia baca Qur’an dia kok kurang khusyu’, tapi kalau dia membaca “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaaha Illallah, Allahu Akbar” ternyata dia lebih khusyu’, lebih mengena di hati, maka pada waktu itu, membaca “Subhanallah, Alhamdulillah, Laa Ilaaha Illallah, Allahu Akbar” lebih utama daripada membaca Al-Qur’an walaupun pada asalnya membaca Al-Qur’an lebih utama daripada membaca dzikir-dzikir tersebut.

5. Perhatikan hukum-hukumnya

Di antara kiat agar kita bisa mendapatkan pahala yang jauh lebih besar, yaitu kita hendaknya memperhatikan hukum-hukumnya. Misalnya yang satu wajib yang satu sunnah, jangan kita dahulukan yang sunnah sehingga akhirnya melalaikan yang wajib. Tapi hendaknya yang wajib kita dahulukan daripada yang sunnah. Kalau ternyata bertemu dua kewajiban, kita lihat mana yang lebih besar maslahatnya.

Demikian kita beramal, supaya kita bisa mendapatkan pahala yang lebih besar. Tertipu ya akhi, ketika ada seseorang disibukkan dengan yang sunnah lalu dia tinggalkan yang lebih wajib dari itu.

Ada seorang wanita, dia membela-bela dzikir pagi dan petang. Tapi ia lalaikan suaminya, ia lalaikan anaknya, padahal seorang wanita lebih wajib untuk melayani suaminya. Maka kita katakan orang ini tertipu. Kenapa demikian? Karena ia mendahulukan yang sunnah, tapi melalaikan yang wajib. Ini perkara yang tidak diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kenapa? Karena yang wajib lebih utama disisi Allah. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman dalam hadits Qudsi:

وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ

Tidaklah seorang hamba bertaqarrub kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang Aku wajibkan kepadanya.” (HR. Bukhari)

Ingat, yang wajib harus kita lebih dahulukan daripada yang sunnah. Maka ketika kita beramal atau dihadapkan pada dua amal, perhatikan mana yang wajib, mana yang sunnah, supaya kita tidak tertipu.

6. Perhatikan waktu dan tempat beramal

Kemudian penting untuk melihat waktu-waktu yang utama dan tempat-tempat yang utama. Kenapa? Karena suatu amal apabila bertepatan dengan waktu yang utama, maka pahalanya jauh lebih besar. Contoh waktu utama misalnya 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Kata Rasulullah:

مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ

“Tidak ada hari-hari yang amalan shalih lebih dicintai oleh Allah dari pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.” (HR. Abu Dawud)

Maka di waktu itu, amal shalih menjadi sangat besar.

Demikian pula di bulan Ramadhan, bahkan di bulan Ramadhan pahalanya sangat besar. Demikian pula di waktu-waktu utama. Di tempat yang utama, di Mekkah, di Madinah, jelas shalat di sana lebih dibandingkan dengan tempat-tempat yang lainnya.

Inilah saudaraku.. Kita penting di sini di dalam beramal shalih untuk memperhatikan waktu-waktu yang utama, tempat-tempat yang utama atau keadaan-keadaan yang menjadikan amalan tersebut lebih dicintai oleh Allah sehingga lebih besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

7. Apa yang paling utama dari amalan kita?

Kemudian yang terakhir, yaitu kita berusaha untuk mencari amalan yang paling utama dan yang paling utama dari amal. Contoh misalnya, ketika adzan dikumandangkan, maka shalat lima waktu itu yang paling utama. Tapi kita berpikir, apa yang paling utama dari shalat lima waktu? Ternyata untuk laki-laki shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian, cari yang lebih utama.

Shalat berjamaah yang paling utama yang seperti apa? Di shaf yang pertama lebih baik daripada shaf di belakang. Untuk wanita, yang paling utama shalat di mana? Di rumah. Thayyib, di rumah yang paling utama seperti apa? Kata Rasulullah:

صَلاَةُ الْمَرْأَةِ فِى بَيْتِهَا أَفْضَلُ مِنْ صَلاَتِهَا فِى حُجْرَتِهَا

“Shalatnya seorang wanita di kamar tidurnya lebih utama daripada shalatnya seorang wanita di bagian-bagian tempat lain dari rumahnya.” (HR. Abu Dawus)

Semakin tersembunyi, semakin besar pahalanya di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Kita mau berpuasa, puasa apa yang paling utama? Coba kita lihat dari setiap amal, apa yang paling utama dari amalan-amalan kita?

Maka dengan seperti ini, kita bisa memanage pahala kita. Ini merupakan bagaimana kita diuji dalam beramal shalih. Semoga kita termasuk orang-orang yang diberikan kefakihan di dalam beramal shalih, bukan hanya sebatas semangat beramal shalih tanpa menimbang mana yang lebih besar dan yang lebih kecil dan kemudian kita pun bisa mendapatkan pahala yang besar dengan amalan yang ringan.

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ ، أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ أنْتَ ، أسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إلَيْكَ
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGERTIAN MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL

   Pengertian Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia merupakan makhluk hidup yang selalu berinteraksi dengan sesama, tidak dapat hidup sendi...