KH. Masduqi Machfudh: Keajaiban Shalawat
Bacalah Shalawat! Jika salawat tidak membekas manfaat sedikitpun. Maka besok kencingi kuburanku. Alm. KH. A. Masduqi Machfudh
Bagi santri Nurul Huda, membaca shalawat adalah hal yang biasa, karena Murabbirruh Abah Masduqi semasa hidupnya senantiasa mewasiatkan agar gemar membaca shalawat dan jamaah shalat. Tentu bukan tanpa sebab, ada banyak alasan yang bisa diraih dengan kegemaran membaca shalawat. Sheikh Nawawi al-Bantani dalam Kitab Tanqih al Qoul al Hatsits menyitir sebuah hadits dan cerita sebagai berikut:
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من صلَّى علَي ألف َ مَّرةٍ لم يَُمت َ حتَّى يبَشُر لَهُ بِالجنَِّة) وفي رواية: َ من صلَّى علَي ألْف َ مَّرةٍ بُشَر بِالجنَِّة قبل موته
barangsiapa membaca shalawat kepada ku 1000 kali maka ia tidak akan mati hingga dibahagiakan dengan surga dalam riwayat lain barangsiapa yang membaca shalawat padaku 1000 kali maka ia akan dibahagiakan dengan surga sebelum matinya
قال بعض الصحابة لرسول الله صلى الله عليه وسلم: صلى الله عشرا لمن صلى عليك مرة واحدة هل ذلك لمن كان حاضر القلب؟ قال: «لا، بَل لِكل ِّ مصل غافِل ويعطيه الله أمثال الجبال، والملائكةُ تَدعُو لَهُ َ وتَستَغْفر لَهُ، وأما إذا كان حا ضر القلب وقت الصلاةِ َ علي، فلا يَعلَم قَدر ذلك إلاَّ الله تَعالى.
Sahabat bertanya pada Rasul, Ya, Rasul engkau menyatakan orang yang membaca shalawat kepadamu sekali akan diberikan rahmat Allah 10 kali lipat, apakah ini hanya untuk yang mampu menghadirkan hatinya saat membacanya? Rasul menjawab: "tidak, bahkan ini untuk semua pembaca yang lalai tidak mampu menghadirkan hatinya, Allah akan memberinya sebesar gunung, malaikat mendoakannya dan memintakan ampun. sementara untuk yang mampu menghadirkan hatinya saat membaca shalawat, tidak ada yang mengetahui kebesaran pahalanya kecuali Allah saja."
Seorang sufiyah bercerita,
"Saya mempunyai tetangga, yang saya tidak mengetahui kesibukannya kecuali mengisinya dengan mabuk-mabukan. Saya nasehati tapi tidak didengarnya, saya minta bertaubat tetapi dia tidak melakukannya. Saat ia mati, saya bermimpi melihatnya ada di tempat yang mulia, menggunakan mahkota dan pakaian dari hiasan-hiasan surga. Saya bertanya padanya, apa yang menyebabkan ia diangkat derajatnya?"
Ia menjawab,
"Suatu hari aku hadir di majelis dzikir, dan ulamanya menyampaikan, barang siapa yang membaca shalawat dan meninggikan suaranya maka dia pasti masuk surga. Kemudian ulama itu membaca shalawat dan meninggikan suaranya, aku dan hadirin mengikutinya membaca shalawat dengan suara tinggi. Maka pada hari itu aku diampuni segala dosaku dan aku dirahmati Allah hingga saat ini aku menerima nikmat dariNYA."
#Syeikh Sihabuddin Ibn Hajar al Asqalani mendapat Ijazah dari Al 'Allamah Syeikh Muhammad Al Khotib Asy Syamiy yang berasal dari Syam/sekarang Siria kemudian menjadi penduduk Madinah dan bermadzhab Hambali, beliau adalah putera Usman bin Abbas bin Usman dari guru-gurunya, bersambung sampai Abu Dzar Al Ghifari ra., dari Rasulullah saw. mengenai hal yang beliau riwayatkan dari Tuhannya. Allah ta’ala berfirman:
يَا عِبَادِيْ إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا فَلاَ تَظَالَمُوْا، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ ضَآلٌّ إِلاَّ مَنْ هَدَيْتُهُ فَاسْتَهْدُوْنِيْ اَهْدِكُمْ ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ جَآئِعٌ اِلاَّ مَنْ اَطْعَمْتُهُ فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ اُطْعِمْكُمْ ، يَا عِبَادِيْ كُلُّكُمْ عَارٍ اِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ فَاسْتَكْسُوْنِيْ اَكْسُكُمْ ، يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَاَنَا اَغْفِرُ الذُّنُوْبَ جَمِيْعًا فَاسْتَغْفِرُوْنِيْ اَغْفِرْ لَكُمْ ، يَا عِبَادِيْ اِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوْا ضُرِّيْ فَتَضُرُّوْنِيْ وَلَنْ تَبْلُغُوْا نَفْعِيْ فَتَنْفَعُوْنِيْ ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى اَتْقَى قَلْبِ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى اَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا ، يَا عِبَادِيْ لَوْ اَنَّ اَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَاِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَا مُوْ ا فِيْ صَعِيْدٍ وَاحِدٍ فَسَأَلُوْنِيْ فَأَعْطَيْتُ كُلَّ وَاحِدٍ مَسْئَلَتَهُ مَا نَقَصَ ذَلِك َ مِمَّا عِنْدِيْ إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْمِخْيَطُ إِذَا أُدْخِلَ الْبَحْرَ ، يَا عِبَادِيْ إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أُحْصِيْهَا لَكُمْ ثُمَّ أُوَفِّيْكُمْ إِيَّاهَا فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا فَلْيَحْمَدِ اللهَ وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذَلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ
"Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan perbuatan dhalim atas Dzat-Ku sendiri dan Aku telah menjadikan perbuatan dhalim tersebut sebagai perbuatan yang diharamkan di antara kamu sekalian; oleh karena itu janganlah kamu sekalian saling berbuat dhalim.
Wahai para hamba-Ku, setiap orang dari kamu sekalian adalah orang yang sesat, kecuali orang yang telah Aku beri petunjuk; oleh karena itu mintalah kamu sekalian petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi petunjuk kepada kamu sekalian.
Wahai para hamba-Ku, masing-masing dari kamu sekalian adalah orang yang lapar kecuali orang yang telah Aku beri makan; oleh karena itu mintalah makan kamu sekalian kepada-Ku, niscya Aku akan memberi makan kamu sekalian.
Wahai para hamba-Ku, masing-masing dari kamu sekalian adalah orang yang telanjang kacuali orang yang telah aku beri pakaian; oleh karena itu mintalah pakaian kamu sekalian kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikan pakaian kepada kamu sekalian.
Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang berbuat salah pada malam dan siang hari, sedangkan Aku dapat mengampunkan dosa-dosa semuanya; oleh karena itu mintalah ampun kamu sekalian kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampunkan dosa-dosa bagi kamu sekalian.
Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya kamu sekalian tidak akan sampai pada kemelaratan-Ku sehingga kamu sekalian dapat memberi melarat kepadaku; dan kamu sekalian tidak akan sampai pada kemanfaatan-Ku sehingga kamu dapat memberi manfaat kepada-Ku.
Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu berada pada keadaan yang paling taqwa dari hati satu orang dari kamu sekalian, niscaya hal itu tidak menambah sesuatupun pada apa yang ada di kerajaan-Ku.
Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu adalah berada pada keadaan yang paling durhaka dari hati satu orang dari kamu sekalian, niscaya hal itu tidak mengurangi sedikitpun dari apa yang ada pada kerajaan-Ku.
Wahai para hamba-Ku, sungguh andaikata permulaan kamu dan akhir kamu, manusia kamu dan jin kamu mereka itu berdiri di sebuah padang, kemudian mereka meminta kepada-Ku, lalu Aku memberi kepada setiap orang akan permintaannya, niscaya pemberian tersebut tidak mengurangi dari apa yang ada pada-Ku kecuali seperti pengurangan jarum jahit ketika dimasukkan ke dalam laut.
Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya amal-amal kamu Aku catat untuk kamu sekalian, kemudian Aku cukupi kamu sekalian akan balasan dari amal-amal tersebut. Maka barangsiapa yang mendapat balasan baik, hendaklah dia memuji kepada Allah, dan barangsiapa yang mendapatkan balasan selain kebaikan, maka janganlah sekali-kali dia mencela kecuali kepada dirinya sendiri".
Hadits yang kedua telah diijazahkan kepada Syeikh Sihabuddin Ibn Hajar al Asqalani oleh Al ‘Allamah Sayyid Ahmad Al Marshafi Al Misri, setelah beliau diberi ijazah oleh Sayyid Abdul Wahhab bin Ahmad Farhat Asy Syafi'i dari guru-gurunya yang bersambung-sambung sampai Abdullah bin Amar bin Ash dari Nabi saw., bahwa beliau telah bersabda:
اَلرَّاحِمُوْنَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمنُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الاَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَآءِ
"Para penyayang itu akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi. Sayangilah olehmu sekalian makhluk yang ada di bumi, niscaya akan menyayangi kamu sekalian makhluk yang ada di langit".
Pengertian dari hadits ini adalah bahwa orang-orang yang sayang kepada makhluk yang ada di bumi dari manusia dan binatang yang tidak diperintah membunuhnya dengan berbuat baik kepadanya, maka Dzat Yang Maha Penyayang akan berbuat baik kepada mereka. Sayangilah olehmu sekalian siapa saja yang kamu sekalian mampu menyayangi mereka dari jenis-jenis makhluk Allah ta’ala, meskipun makhluk yang tidak berakal, dengan membelasi mereka dan berdoa bagi mereka dengan rahmat dan ampunan, niscaya para malaikat akan memohonkan ampun bagi kamu sekalian. Dan siapakah orang yang disayangi oleh penduduk langit pada umumnya yang mereka itu lebih banyak dari pada penduduk bumi?
Tidak boleh bagi seseorang untuk mendoakan bagi semua orang Islam agar diampunkan semua dosanya atau mendoakan untuk seorang fakir agar diberi uang seratus dinar. Tidak ada jalan baginya yang memudahkan berdoa seperti itu dan dia mengatakan:
"Ini adalah termasuk menyayangi makhluk, karena berdoa seperti itu, yaitu menentukan semua orang, semua dosa, dan seratus dinar adalah bertentangan dengan nash-nash syara’.
Imam Al Ghozali telah dimimpikan dalam tidur lalu dikatakan kepadanya:
"Apakah yang diperlakukan oleh Allah swt. kepadamu?"
Beliau berkata:
"Aku telah dihadapkan kehadapan Allah swt. seraya Allah swt. berfirman kepadaku: "Sebab apa engkau dihadapkan kepada-Ku?" Maka aku mulai menyebutkan amal-amalku.
Kemudian Allah swt. berfirman:
"Aku tidak menerima amal-amal tersebut. Sesungguhnya yang Aku terima dari kamu hanyalah pada suatu hari ada sekor lalat yang hinggap pada tinta penamu untuk meminum tinta tersebut, sedangkan engkau lagi menulis, lalu engkau berhenti menulis karena sayangmu pada lalat tersebut sehingga lalat tersebut dapat mengambil bagiannya".
Allah swt. berfirman:
"Wahai para malaikat, bawalah hamba-Ku Al Ghozali ini ke dalam sorga!"
Dalam hadits Nabi saw. tersebut di atas, lafal يَرْحمَكُمْ ada dua riwayat; ada yang membaca jazam sebagai jawab amar dan ada yang membaca rafa' sebagai jumlah du'aiyyah. Dan membaca rafa' adalah lebih utama, karena doa Nabi saw. tidaklah ditolak.
Di antara sebab-sebab untuk mendapatkan husnul khatimah adalah mengajegkan membaca doa-doa berikut:
اَللَّهُمَّ أَكْرِمْ هَذِهِ الاُمَّةَ الْمُحَمَّدِيَّةَ بِجَمِيْلِ عَوَائِدِكَ فِيْ الدَّارَيْنِ اِكْرَامًا لِمَنْ جَعَلْتَهَا مِنْ اُمَّتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
"Ya Allah, muliakanlah ummat Nabi Muhammad ini dengan kebagusan dari kebiasaanmu di dunia dan akhirat dengan benar-benar kemuliaan bagi orang yang telah Engkau menjadikannya termasuk ummat Nabi Muhammad saw".
Melanggengkan doa berikut pada waktu antara shalat sunnat subuh dan fardlu subuh:
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لاُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ اسْتُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ اجْبُرْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمِّدٍ اَللَّهُمَّ عَافِ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ احْفَظْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْحَمْ أُمَّةَ سَيِّدِنَا مُحَمَّ دٍ رَحْمَةً عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لاُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ مَغْفِرَةً عَآمَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ اَللَّهُمَّ فَرِّجْ عَنْ أُمَّةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فَرْجًا عَاجِلاً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
"Ya Allah, ampunkanlah dosa bagi ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, berilah rahmat ummat dari pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, tutupilah cacat dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, tamballah kekurangan dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, perbaikilah kerusakan dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, sejahterakanlah ummat dari pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, jagalah ummat pemimpin kami Nabi Muhammad.
Ya Allah, berilah rahmat ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan rahmat yang umum wahai Tuhan seru sekalian alam.
Ya Allah, ampunkanlah dosa dari ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan ampunan yang umum wahai Tuhan seru sekalian alam.
Ya Allah, berilah jalan keluar dari kesulitan ummat pemimpin kami Nabi Muhammad dengan jalan keluar yang segera wahai Tuhan seru sekalian alam".
Mengajekkan membaca doa berikut:
يَا رَبَّ كُلِّ شَيْءٍ بِقُدْرَتِكَ عَلَى كُلَّ شَيْءٍ اِغْفِرْلِيْ كُلَّ شَيْءٍ وَلاَ تَسْأَلْنِيْ عَنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلاَ تُحَاسِبْنِيْ كُلِّ شَيْءٍ وَأَعْطِنِيْ كُلَّ شَيْءٍ .
"Wahai Tuhan dari setiap sesuatu, demi kekuasaan-Mu terhadap setiap sesuatu, ampunilah daku pada setiap sesuatu, janganlah Engkau menanyai daku tentang setiap sesuatu, janganlah Engkau memperhitungkan daku pada setiap sesuatu, dan berilah daku setiap sesuatu".
Kedua hadits yang diterima oleh Syeikh Sihabuddin tersebut diatas, mengisyaratkan kepada kita untuk tidak pernah berhenti untuk selalu berdoa disamping upaya ikhtiar kita dalam menjalani kehidupan. Dan larangan untuk meremehkan setiap amal kebaikan sekecil apapun dan menyepelekan kemaksiatan remeh apapun. Karena akhiran yang diburu orang mukmin dalam kehidupan ini adalah Khusnul Khotimah/akhiran yang baik, maka kita harus selalu ingat bahwa Allah menyimpan ridlanya dalam setiap amal kebaikan dan menyimpan amarahnya dalam setiap kemaksiatan. Jangan-jangan Allah meridloi pekerjaan yang kita anggap remeh dan mengabaikan segala amal yang kita anggap besar dan patut dibanggakan.
Begitu juga ketika kita menjalankan kemaksiatan yang menurut kita dosa kecil tetapi Allah marah dan memasukkan kita ke neraka. Untuk itu upaya selalu melanggengkan membaca doa agar mendapat akhiran yang baik sebagai bukti kerelaan Allah atas kita haruslah diistiqamahkan disertai upaya untuk menghindar dari perbuatan dzalim dan kemaksiatan dengan sabar. Semoga sukses!
#Peristiwa sejarah yang menandai hari raya 'Iedul Adl-ha adalah tugas berat yang dibebankan Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. agar beliau menyembelih puteranya, Nabi Isma'il as.
Dalam surat اَلصَّفَّاتْ ayat 100 - 106, Allah swt. berfirman:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ ﴿١٠٠﴾ فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ ﴿١٠١﴾ فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّـهُ مِنَ الصَّابِرِينَ ﴿١٠٢﴾ فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ ﴿١٠٣﴾ وَنَادَيْنَاهُ أَن يَا إِبْرَاهِيمُ ﴿١٠٤﴾ قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا ۚ إِنَّا كَذَٰلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ ﴿١٠٥﴾ إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾
"Ya Tuhanku, anugerahilah aku anak yang saleh. Kemudian Kami berikan kabar gembira kepadanya dengan seorang anak yang penyantun. Setelah anak itu dapat melakukan usaha bersamanya, Ibrahim berkata kepadanya, "Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi dalam tidurku bahwa aku menyembelih engkau. Maka pertimbangkanlah bagaimana pendapatmu?" Sang anak menjawab, "Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan itu. Niscaya ayah akan mengetahui bahwa diriku termasuk orang-orang yang sabar, insya Allah". Maka ketika keduanya telah mematuhi perintah Allah dan pipi sang anak sudah ditempelkan di atas tanah, maka Kami berseru kepadanya: "Wahai Ibrahim, sesungguhnya engkau telah mematuhi perintah berdasarkan mimpi itu!" Dan sesungguhnya dengan cara seperti itulah Kami membalas orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya peristiwa ini adalah suatu ujian yang nyata!"
Untuk menangkap hikmah-hikmah dari peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as. tersebut, kita dapat menelusurinya dari beberapa segi, yaitu:
- Pertama: Dari segi jenis perintah
- Kedua: Dari segi yang diperintah
- Ketiga: Dari segi materi perintah
Jenis perintah
Dapat kita ketahui bahwa perintah yang dibebankan oleh Allah swt. kepada Nabi Ibrahim as. sangat irasional atau sangat tidak masuk akal.
Betapa tidak, orang disuruh menyembelih puteranya sendiri. Kalau kita mencoba menganalisanya secara rasional atau secara akal pikiran, kemungkinan kesimpulan kita akan meleset dari kebenaran. Bahkan kita akan menuduh bahwa ayat tersebut tidak masuk akal, sehingga kebenarannya perlu dipertimbang kan dan ditinjau kembali.
Kesimpulan dari analisa kita tidak akan meleset, jika sebelumnya kita sudah menyetujui dan meyakini bahwa tidak selamanya perintah-perintah Allah itu harus rasional atau dapat masuk akal. Atau dengan lingkup pembahasan yang lebih luas, tidak selamanya aturan-aturan yang terdapat dalam agama Islam itu sesuai dengan akal fikiran. Banyak aturan-aturan ritual atau peribadatan dalam agama Islam yang tidak masuk akal, yang oleh para ulama disebut ta'abbudiy, atau ibadah mahdlah atau ibadah murni, yaitu hal-hal yang mengatur hubungan antara manusia dengan Penciptanya (Khaliqnya).
Sedang peraturan-peraturan yang bertalian dengan masalah sosial yang disebut dengan "ibadah ghairu mahdlah" atau ibadah yang tidak murni atau ibadah sosial adalah bersifat rasional atau sesuai dengan akal fikiran. Oleh karena itu akan meleset hasilnya, jika ibadah mahdlah seperti perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih puteranya, Nabi Isma'il di atas dianalisa dengan pendekatan rasional.
Kini timbul pertanyaan, yaitu:
Kalau seluruh firman Allah itu tidak ada yang sunyi dan sepi dari faedah, maka apakah faedahnya Allah memerintahkan makhluk-Nya dengan perintah yang tidak masuk akal dan tidak dapat difahami oleh makhluk itu sendiri?
Di sinilah Allah mengakhiri kisah tersebut dengan berfirman:
إِنَّ هَـٰذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ ﴿١٠٦﴾
Sesungguhnya hal ini adalah merupakan ujian yang nyata
Yaitu ujian kepada Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as., sampai di mana keduanya mau melaksanakan perintah Allah, meskipun perintah tersebut tidak dapat dipahami maksudnya.
Yang diperintah
Apabila perintah Allah tersebut adalah merupakan batu ujian terhadap Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as., maka pertanyaan yang mungkin timbul adalah:
- Untuk apa Allah masih juga menguji Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il as.?
- Bukankah kedua Nabi tersebut orang-orang yang telah dipilih oleh Allah sendiri?
- Apakah keduanya mungkin lulus atau gagal dalam menghadapi ujian tersebut?
Jawabnya ialah bahwa tentu kedua Nabi tersebut pasti lulus dalam menghadapi ujian, karena keduanya adalah orang-orang yang sudah dipilih oleh Allah!
- Akan tetapi untuk apa kedua Nabi tersebut masih diuji?
Di sinilah kita dapat menangkap hikmah yang agung dalam peristiwa tersebut. Kalau nabi pilihan Allah itu masih juga mendapat ujian hidup, maka kita sebagai makhluk biasa yang bukan pilihan ini, tentu lebih layak untuk mendapatkan ujian-ujian dari Allah. Allah swt mungkin menguji makhluk-Nya dengan ujian yang pahit atau ujian yang manis, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Al Mulk ayat 2 yang berbunyi:
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا
Allah yang menjadikan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya ...
Dalam menghadapi ujian-ujian ini, kita sendirilah yang akan menjawabnya, apakah akan lulus atau gagal dalam menghadapi ujian-ujian dari Allah swt. Yang jelas, semakin teguh seseorang mengikuti ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya, semakin banyak kemungkinan ia sukses dalam menghadapi ujian. Dan semakin jauh seseorang dari ajaran-ajaran agama, semakin tipis pula kemungkina untuk dapat sukses dalam menghadapi ujian dari Allah swt.
Perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh, bahwa manusia itu semakin ta'at kepada perintah Allah swt., akan semakin pedih dan berat ujiannya; dan semakin dekat seseorang kepada Allah swt., akan semakin besar pula ujian yang ditimpakan Allah kepadanya. Pernah Nabi Besar Muhammad saw. ditanya oleh sahabat Sa'ad bin Abi Waqqash tentang orang yang paling pedih dan berat ujiannya di dunia ini, beliau menjawab:
اَلأَنْبِيَآءُ ثُمَّ الاَمْثَلُ فَالاَمْثَلُ
Para nabi, kemudian orang-orang yang seperti nabi, lalu orang-orang yang seperti mereka
Oleh karena itu, tidaklah layak bagi seseorang untuk mengharapkan karunia dari Allah swt., sebelum dia tahan dan lulus dari ujian-ujian hidup yang ditimpakan kepadanya.
Ketika ada sekelompok orang yang datang kepada Nabi dan menyatakan sebagai orang-orang mukmin, kemudian datang menimpa mereka ujian dari Allah swt., yaitu mereka dihadang oleh orang-orang kafir yang ingin membunuh mereka, sehingga mereka merasa kesal, sebab mereka sudah merasa sebagai orang-orang yang beriman, mengapa pula masih mendapat ujian hidup. Maka turunlah firman Allah:
الم ﴿١﴾ أَحَسِبَ النَّاسُ أَن يُتْرَكُوا أَن يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ ﴿٢﴾ وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۖ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّـهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ ﴿٣﴾ ( العنكبوت : 1-3 )
Alif, Laam, Miim. Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan begitu saja mengatakan: "Kami sudah beriman" tanpa mendapat cobaan? Sesungguhnya Kami telah mencoba (menguji) orang-orang sebelum mereka, agar Allah mengetahui, mana orang-orang yang benar-benar beriman dan mana orang-orang yang dusta.
Materi perintah
Dalam peristiwa Nabi Ibrahim as. adalah benda yang harus dikorbankan yang berupa putera kesayangan beliau. Banyak ayat Al Qur'an yang menyebutkan kata "anak" bersama dengan kata "harta benda", karena keduanya memang merupakan lambang keduniaan. Dalam surat Al Kahfi ayat 46 Allah swt. ber firman:
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا ﴿٤٦﴾
Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia; dan amal-amal yang kekal lagi baik, lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik untuk dicita-citakan.
Disamping itu, harta benda dan anak-anak juga merupakan lambang kesenangan di dunia yang sangat digandrungi oleh setiap orang.
Padahal pada hakekatnya, harta benda dan anak-anak itu adalah alat yang dipergunakan oleh Allah swt. untuk menguji dan mencoba manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anfal ayat 28:
إِعْلَمُوْا اَنَّمَا اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلاَدُكُمْ فِتْنَةٌ، وَاَنَّ اللّهَ عِنْدَهُ اَجْرٌ عَظِيْمٌ.
Ketahuilah, bahwa harta benda dan anak-anakmu adalah merupakan ujian bagi kamu. Sedangkan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar.
Karena setiap orang cenderung untuk menuruti apa saja dan siapa saja yang disenangi, maka perintah Allah kepada Nabi Ibrahim as. untuk menyembelih puteranya adalah memberi peringatan kepada setiap orang, bahwa untuk mencapai kebahagiaan yang sejati, setiap orang dituntut untuk berani mengorbankan, memenggal dan memotong kesenangan dan kegandrungan hatinya terhadap hal-hal yang merupakan simbol-simbol duniawi. Sebab selagi seseorang manusia masih menggandrungi hal-hal tersebut, maka selama itu pula dia akan diperbudak olehnya. Dan akan lebih parah lagi akibatnya, jika dia berani mencoba melakukan apa saja tanpa mengenal batas-batas dan ketentuan-ketentuan agama, demi menuruti kesenangan dan kegandrungan hatinya. Di sinilah sebenarnya titik awal dan permulaan kebinasaan dan kehancuran manusia, sebagaimana sabda Nabi Besar Muhammad saw.:
حُبُّ الدُّنْيَا رَأْسُ كُلِّ خَطِيْئَةٍ
Menggandrungi dunia adalah pangkal segala kejahatan.
Bukankah segala macam bentuk kejahatan di dunia ini, seperti penipuan, korupsi, suap atau rasywah atau kolusi, pencurian, perampokan, pembunuhan, pemberontakan, dan lain sebagainya adalah berpangkal dari keinginan manusia untuk menuruti kesenangan hatinya terhadap hal-hal yang bersifat duniawi? Oleh karena itu kita diperintah untuk berani mematahkan dan mengorbankan sebagian dari kesenagan hati kita, untuk dapat mencapai peringkat manusia yang baik, sebagaimana firman Allah swt. dalam surat Ali Imran ayat 92
لَن تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ
Kamu sekalian tidak akan pernah mencapai kebaikan, sehingga kamu berani mendermakan sebagian dari harta yang kamu cintai.
Memberikan sesuatu barang yang tidak disukai kepada orang lain, dapat dilakukan oleh setiap orang. Akan tetapi memberikan barang yang sedang dan masih disukai atau disenangi kepada orang lain, hanya dapat dilakukan oleh orang yang baik saja. Oleh karena itu, untuk menguji sampai di mana rasa sayang kita kepada harta benda, dalam kesempatan 'Iedul Adl-ha ini Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ سِعَةٌ فَلَمْ يُضَحِّ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مُصّلاَّنَا
Barangsiapa yang mempunyai kecukupan dan tidak mau menyembelih binatang qurban, maka dia tidak usah shalat 'Ied bersama saya.
Kini tinggal kita sendiri yang mampu memberikan jawaban, apakah kita sudah mampu mengalahkan kesenangan-kesenangan hawa nafsu kita, ataukah kita masih diperbudak olehnya.
Untuk menuju kesempurnaan hidup, manusia harus mampu memahami keberadaannya di dunia ini, dan sekaligus mengetahui fungsi dan kegunaan segala hal yang bersifat duniawi.
Mengenai keberadaan manusia di dunia, dilukiskan oleh Rasulullah saw. sebagai orang yang berteduh sebentar di bawah pohon yang kemudian pergi lagi; atau seperti orang yang menyeberang jalan. Jadi kehidupan di dunia ini bukanlah suatu tujuan, melainkan sekedar keharusan yang mesti dilalui dan bersifat sangat sementara. Sedang dunia itu sendiri, dilukiskan oleh Rasulullah saw. sebagai air yang menem pel di telunjuk jari yang baru dicelupkan ke dalam lautan. Air yang menempel di telunjuk jari dibanding air lautan, tak ubahnya seperti dunia dibanding akhirat. Namun demikian, tidak sedikit orang yang silau melihat dunia dan memandang sepele kepada akhirat.
Masalahnya, karena manusia lebih cepat terpikat kepada apa saja yang segera dapat dirasakan, yaitu dunia dan isinya. Sedang manusia kurang tertarik kepada kehidupan akhirat, karena tidak segera dapat dinikmati. Padahal kepuasan menikmati kehidupan dunia ini hanyalah bersifat sementara dan semu; sedang kepuasan menikmati kehidupan akhirat nanti adalah abadi dan hakiki. Namun manusia ditakdirkan oleh Allah swt. hanya mampu merasakan hal-hal yang berada di lingkungannya saja tanpa dapat merasakan hal-hal yang jauh dari dirinya.
Dalam surat Al Hadid ayat 20, Allah swt. menggambarkan kehidupan dunia dan akhirat sebagai berikut:
اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌ وَزِينَةٌ وَتَفَاخُرٌ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌ فِي الْأَمْوَالِ وَالْأَوْلَادِ ۖ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَعْجَبَ الْكُفَّارَ نَبَاتُهُ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَاهُ مُصْفَرًّا ثُمَّ يَكُونُ حُطَامًا ۖ وَفِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَمَغْفِرَةٌ مِّنَ اللَّـهِ وَرِضْوَانٌ ۚ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ ﴿٢٠﴾
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidup di dunia ini hanyalah permainan, iseng-iseng, perhiasan dan saling merasa hebat di antara kamu, serta persaingan dalam berbanyak harta dan anak. Tak ubahnya seperti air hujan yang menyiram tanaman yang pertumbuhannya dikagumi oleh orang-orang yang menanamnya.Tanaman itu lalu kering, dan kemudian kamu lihat tanaman itu menguning dan hancur. Sedang di akhirat terdapat siksa yang pedih (bagi orang-orang yang kafir) serta ampunan dan keridlaan Allah (bagi orang-orang yang mu'min). Dan kehidupan dunia tidak lebih dari kesenangan yang menipu.
Sebagai orang mu'min yang sudah mempunyai pegangan Al Qur'an, seyogyanya kita tidak tertipu oleh kehidupan di dunia. Bahkan sebaliknya, kehidupan dunia ini harus kita upayakan dengan sungguh-sungguh agar dapat menjadi faktor penentu dalam memperoleh kehi dupan akhirat yang abadi.
Islam tidak membenci harta benda; tetapi Islam membenci orang yang menjadikan dirinya menjadi budak harta benda.
Islam tidak membenci kekayaan; tetapi Islam mengutuk orang yang memperoleh kekayaan dengan cara yang tidak halal dan menggunakan kekayaan tersebut untuk masalah-masalah yang tidak halal.
Pola hidup zuhud (sederhana) yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. tidaklah identik dengan hidup sengsara, karena permasalahannya menyangkut moralitas dan tanggapan seseorang terhadap dunia ini. Tidak jarang orang miskin yang gandrung dengan kehidupan duniawi, dan tidak sedikit pula orang kaya yang lebih mementingkan kehidupan akhirat. Seseorang manusia baru mencapai kesempurnaan hidup, apabila dia telah mampu memberikan penilaian bahwa kehidupan ukhrawi itu lebih baik dari pada kehidupan duniawi.
Dalam surat Adl Dluha ayat 4 Allah swt. berfirman:
وَلَلْآخِرَةُ خَيْرٌ لَّكَ مِنَ الْأُولَىٰ ﴿٤﴾
Kehidupan ukhrawi itu lebih baik bagimu dari pada kehidupan duniawi
Untuk dapat memberikan penilaian yang tepat mengenai arti dunia dan arti akhirat, seseorang terlebih dahulu harus memahami arti keberadaannya di dunia ini dan tentang fungsi dari dunia itu sendiri. Pekerjaan ini memang berat, karena merupakan upaya untuk mencari identitas manusia di dunia ini, apalagi jika pekerjaan ini hanya didukung oleh akal fikiran yang sangat terbatas kemampuannya.
Jadi, peristiwa Nabi Ibrahim as. yang kita peringati setiap hari raya adl-ha, adalah mengandung pelajaran yang luhur, yang menuntut setiap orang agar mau melumpuhkan kegandrungannya kepada segala hal yang bersifat duniawi. Dan dengan demikian dia akan menjadi insan kamil (manusia sempurna) karena sudah dapat melepaskan dirinya dari belenggu perbudakan yang dilakukan oleh hawa nafsu. Sedangkan hal ini akan membawa dampak moralitas, dimana manusia tidak lagi rakus dan kejam terhadap sesama manusia dalam mengejar kebahagiaan semu yang sementara; karena dia akan menggunakan segala yang dimilikinya sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan akhirat yang hakiki dan abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar